Thursday, April 25, 2013

hukum perkawinan dibawah umur


KATA PENGANTAR 
Hak asasi adalah hak yang paling dasar melekat pada diri manusia. Haktersebut digunakan dengan tujuan agar manusia dapat memenuhi kebutuhan-kebutuhan dalam kehidupannya, sehingga mereka akan merasakan keadilanketika melakukan suatu hal yang menjadi kewajibannya.Guna menunjang pengetahuan tentang hak asasi manusia itu,pembahasan dalam makalah ini mengarah pada penentuan titik terang “dilematis antara hak asasi menikah dan hak asasi perlindungan anak dalamkontroversi pernikahan anak di bawah umur “, dengan demikian di waktu yangakan datang diharapkan hak asasi manusia bisa terpenuhi tanpa adanya suatuproblema (kontroversi).Demi penyempurnaan makalah ini, kami mengharapkan kritik sertasaran dari para pembaca dan pemakai makalah ini, khususnya Bapak / Ibudosen pengajar mata kuliah Ilmu Sosial Budaya Dasar.Semoga makalah ini bermanfaat bagi kita semua untuk memacukepedulian manusia dalam menghormati dan menghargai hak asasi.Surabaya, Nopember 2008Penyusun
2
 
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR
………………………………………………………………………………………… 1
DAFTAR ISI
……………………………………………………………………………………………………. 2
BAB I :
PENDAHULUAN
A.
LATAR BELAKANG MASALAH ………………………………………………………… 3
B.
RUMUSAN MASALAH ……………………………………………………………………… 3
C.
TUJUAN ………………………………………………………………………………………… 4
D.
MANFAAT …………………………………………………………………………………….. 4
BAB II
:KAJIAN PUSTAKA
………………………………………………………………………………………… 5
BAB III :
PEMBAHASAN
A.
SEBAB-SEBAB TIMBULNYA KONTROVERSI PERNIKAHANANAK DI BAWAH UMUR ………………………………………………………………… 7
B.
HUKUM PERNIKAHAN ANAK DI BAWAH UMUR MENURUTPANDANGAN ISLAM ……………………………………………………………………… 8
C.
HUKUM PERNIKAHAN ANAK DI BAWAH UMUR BERDASARKANPERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN YANG BERLAKUDI INDONESIA ……………………………………………………………………………… 9
D.
UPAYA MENYIKAPI ATAU MENCEGAH TERJADINYA PERNIKAHANANAK DI BAWAH UMUR …………………………………………… 11
BAB IV :
KESIMPULAN DAN SARAN
…………………………………………………………………………… 13
DAFTAR PUSTAKA
……………………………………………………………………………………… 14
3
 
BAB IPENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG MASALAH
Pernikahan merupakan salah satu hak asasi seseorang sebagai puncakmeraih kebahagiaan hidup, karena melalui pernikahanlah sebuah keluargadapat terbentuk secara utuh. Berangkat dari pemikiran tersebut, kita perlumengetahui bagaimana konsep yang tepat mengenai hak asasi menikah yaituyang tidak melanggar hak asasi yang lain.Oleh karena itu, kami merasa perlu mengupas tuntas tentangkeberadaan pernikahan anak di bawah umur yang masih menjadi topikpembicaraan yang hangat bagi masyarakat, sebab pernikahan anak di bawahumur terus dibayangi kontroversi mengenai dilematis dua hak asasi manusiayaitu hak asasi pernikahan/perkawinan dan hak asasi perlindungan anak yangkeduanya dihadapkan pada suatu perdebatan sengit terkait dengan hak asasimanakah yang diprioritaskan lebih dulu, mengingat kedua hak asasi tersebutsama-sama penting bagai seseorang yang berkehendak untuk menuntut akanpemenuhan hak asasi atas kepentingan pribadinya.Perdebatan dilematis tersebut kian merebak menjadi masalah sosial,sehingga memicu munculnya berbagai komentar atau opini anggotamasyarakat dari berbagai kalangan. Untuk itu, perlu adanya pengkajianterhadap masalah ini, agar kita bisa menemukan jawaban yang memuaskandan mencari solusi yang tepat guna menghadapi sekaligus menyelesaikanpermasalahan ini.
B.RUMUSAN MASALAH
Untuk memudahkan dalam pembahasan masalah maka penulismembatasi permasalahan ini pada,
1.
Mengapa pernikahan anak di bawah umur menimbulkan kontroversi ?
2.
Bagaimana hukum pernikahan anak di bawah umur menurutpandangan Islam ?
4
 
3.
Bagaimana hukum pernikahan di bawah umur berdasarkan peraturanperundang-undangan yang berlaku di Indonesia ?
4.
Bagaimana upaya menyikapi atau mencegah terjadinya pernikahananak di bawah umur ?
C.TUJUAN
Adapun tujuan dari makalah ini yaitu :
1.
Mendorong seseorang agar mengetahui konsep pernikahan yangbenar dan yang tidak menimbulkan kontroversi di kalanganmasyarakat.
2.
Menganalisis hukum pernikahan anak di bawah umur menurutpandangan Islam dan berdasarkan peraturan perundang-undanganyang berlaku di Indonesia.
3.
Menciptakan upaya untuk menyikapi atau mencegah terjadinyapernikahan anak di bawah umur.
D.MANFAAT
Adapun manfaat dari makalah ini yaitu :
1.
Mewujudkan kesadaran seseorang untuk mematuhi hukum yangberlaku.
2.
Menumbuhkan sikap menghormati dan menghargai hak asasimanusia.
3.
Mengembangkan pola pikir dan perilaku manusia yang bermoral atauyang sesuai dengan norma.
5
 
BAB IIKAJIAN PUSTAKA
Indonesia dari waktu ke waktu kian akrab dengan berbagaipermasalahan sosial, hal tersebut dapat dibuktikan dengan munculnya salahsatu fenomena yang menjadi topik perbincangan terkini di masyarakat, yaitumasalah tentang pernikahan atau perkawinan anak di bawah umur. Bagaimanatidak ? Perkawinan tersebut telah memicu munculnya kontroversi yang hebat.Adapun ‘tokoh’ yang terlibat dalam problema tersebut adalah pelakuperkawinan di bawah umur beserta para pengikut atau pembela yangbertindak sebagai pihak yang pro, sedangkan masyarakat maupun pemerintahduduk sebagai pihak yang kotra.Pujiono Cahyo Widianto atau yang lebih dikenal dengan Syekh puji,seorang pria setengah baya yang menikahi gadis belia yang belum genapberumur 12 tahun, menilai pernikahannya dengan anak tersebut benar dan sahdi mata agama Islam. Ia mengungkapkan bahwa apa yang dilakukannya itusesuai dengan sunnah Rasul dan tidak perlu diributkan khalayak ramai.Sedangkan di sisi lain, Muhammad Maftuh Basyumi, selaku MenteriAgama mempunyai argumen tersendiri tentang pernikahan anak di bawahumur. Beliau berpendapat bahwa pernikahan tersebut tidak benar dan bisa-bisa pelakunya dikenai sanksi sesuai pelanggaran yang dia lakukan. Di sela-sela kesibukannya membuka Halaqah pengembangan pondok pesantren diHotel Mercuri, Jakarta beberapa waktu lalu, Menteri Agama menjelaskanbahwa di Indonesia orang Islam terikat dengan dua ukuran. Di satu sisi sebagaimuslim, dia terikat pada syariat, sementara di sisi lain sebagai warga negarayang terikat pada hukum positif, dalam hal ini UU perkawinan, dari sudutpandang peraturan di UU perkawinan, pernikahan tersebut tidak sah danberpotensi menimbulkan masalah dalam hal perlindungan anak. (Sumber :kompas.com). Namun, argumen beliau tersebut bertolak belakang denganopini pihak yang membenarkan pernikahan tersebut.Tak berhenti pada statement tersebut, Dosen Jurusan Sastra ArabUniversitas Negeri Malang juga menentang pernikahan anak di bawah umur.Beliau menegaskan bahwa klaim sejumlah pihak yang menikahi gadis di bawahumur dengan dalih meneladani sunnah Rasul itu adalah bermasalah, baik dari
6
 
segi normatif (agama) maupun sosiologis (masyarakat). (Sumber :islamlib.com).Pengecaman terhadap pernikahan kontroversial tersebut juga datangdari anggota masyarakat. Niam, salah seorang warga masyarakat berpendapatbahwa pernikahan anak di bawah umur dengan cara pernikahan siri (di bawahtangan) meski sah menurut agama, dapat meniadakan hak-hak perdata anak,yang pada konteks masalah syekh puji adalah pihak perempuan. (Sumber :kompas.com).
7
 
BAB IIIPEMBAHASAN
A.
SEBAB-SEBAB TIMBULNYA KONTROVERSI PERNIKAHAN ANAKDI BAWAH UMUR
Berdasarkan kutipan- kutipan yang dijelaskan pihak-pihak terkait dapatdipahami bahwa realita pro dan kontra tentang pernikahan anak di bawahumur masih belum menemukan titik penyelesaian, faktor utama yangmembuat permasalahan itu berlarut-larut adalah tidak adanya kesepahamanantara dua kubu yang mempunyai pandangan yang berbeda. Kelompok yangsetuju berambisi mempertahankan haknya untuk menikahi anak di bawahumur dengan alasan beribadah, mendapat persetujuan orang tua dari anakyang hendak dinikahi, dan beberapa alibi lain yang digunakan sebagaipendukung tanpa memperhatikan kepentingan atau hak asasi utama si anak.Adapun kelompok yang melarang penikahan anak di bawah umur,berusaha memperjuangkan hak-hak yang seharusnya didapat oleh anak. Jikadilihat dari aspek sosial ekonomi, Pernikahan ini dicap menimbulkan masalahdalam hal perlindungan anak, sebab dalam relita yang sebenarnya terjadi dimasyarakat, pernikahan ini acapkali dijadikan dalih para orang tua untukmengeksploitasi atau ‘mengorbankan’ anak mereka demi terpenuhinyakebutuhan ekonomi keluarga. Di samping itu, jika si anak adalah pihakperempuan, maka dapat dikatakan bahwa pernikahan anak di bawah umurtelah mengabaikan dan bahkan merendahkan derajat serta martabatperempuan. Dampak dari perilaku pernikahan ini menyebabkan traumaseksual serta berdampak buruk pada kesehatan reproduksi pada anakperempuan. Secara mental psikologis, si anak juga dirasa belum mampumembuat keputusan yang tepat bagi dirinya untuk menanggung bebantanggung jawab mengurus kehidupan rumah tangga yang semestinya adalahuntuk orang yang sudah cukup umur atau dewasa. Selain itu, bagi pihak anaksecara tidak disadari banyak efek negatif yang akan timbul diakibatkanpernikahan ini, mulai dari terbatasnya pergaulan hingga hilangnya masabermain dengan anak sebaya yang berimbas pada perkembangan mental danemosional si anak.
8
 
B.HUKUM PERNIKAHAN ANAK DI BAWAH UMUR MENURUTPANDANGAN ISLAM
Sebagai muslim, merupakan kewajiban untuk merujuk sumber utamadari ajaran Islam, yakni Al Qur’an. Apakah Al Qur’an mengijinkan atau justrumelarang pernikahan dari gadis ingusan di bawah umur? Yang jelas, tidak adasatu ayatpun yang secara eksplisit mengijinkan pernikahan seperti itu. Adasebuah ayat yang dapat dijadikan inspirasi untuk menjawab persoalan di atas,meski substansi dasarnya adalah tuntunan bagi muslim dalam mendidik danmemperlakukan anak yatim. Meski demikian, petunjuk Al Qur’an mengenaiperlakuan anak yatim itu dapat juga kita terapkan pada anak kandung kitasendiri. Ayat tersebut adalah : “Ujilah anak yatim itu sampai mereka cukupumur untuk kawin. Kemudian jika menurut pendapatmu mereka telah cerdas(mampu mengelola harta), maka serahkan kepada mereka harta bendanya.”(Q.S. An Nisa’ : 6).Dalam kasus anak yang ditinggal wafat orang tuanya, seorang bapakasuh diperintahkan untuk: (1) mendidik, (2) menguji kedewasaan mereka“sampai usia menikah” sebelum mempercayakan pengelolaan keuangansepenuhnya. Di sini ayat Al Qur’an mempersyaratkan perlunya tes dan buktiobyektif perihal kematangan fisik dan kedewasaan intelektual anak asuhsebelum memasuki usia nikah sekaligus mempercayakan pengelolaan hartabenda kepadanya. Logikanya, jika bapak asuh tidak diperbolehkan sembarangmengalihkan pengelolaan keuangan kepada anak asuh yang masih kanak-kanak, tentunya bocah ingusan tersebut juga tidak layak, baik secara fisik danintelektual untuk menikah. Oleh karena itu, sulit dipercaya, Abu Bakar AsShiddiq, seorang pemuka sahabat, menunangkan anaknya yang masih beliaberusia 7 tahun, untuk kemudian menikahkannya pada usia 9 tahun dengansahabatnya yang telah berusia setengah abad. Demikian pula halnya, sungguhsulit dibayangkan bahwa Nabi SAW menikai gadis ingusan berusia 7 atau 9tahun. Ringkasnya, pernikahan ‘Aisyah pada usia 7 atau 9 tahun itu bisabertentangan dengan prasyarat kedewasaan fisik dan kematangan intelektualyang ditetapkan Al Qur’an. Oleh karena itu, dapat disimpulkan bahwa ceritapernikahan ‘Aisyah gadis belia berusia 7 atau 9 tahun dengan Nabi SAW, ituadalah mitos yang perlu diuji kesahihannya.Di samping persoalan-persoalan yang telah dikemukakan di atas,seorang wanita sebelum dinikahkan harus ditanya dan dimintai persetujuanagar pernikahan yang dilakukannya itu menjadi sah. Dengan berpegang padaprinsip ini, persetujuan yang diberikan gadis belum dewasa (berusia 7 atau 9
9
 
tahun) tentu tidak dapat dipertanggungjawabkan, baik secara moral maupunintelektual. Adalah tidak terbayangkan bahwa Abu Bakar meminta persetujuanputerinya yang masih kanak-kanak. Buktinya, menurut hadis riwayat IbnHanbal, ‘Aisyah masih suka bermain-main dengan bonekanya ketika mulaiberumah tangga dengan Nabi SAW. Nabi SAW sebagai utusan Allah yang mahasuci juga tidak akan menikahi gadis ingusan berusia 7 atau 9 tahun, karena halitu tidak memenuhi syarat dasar sebuah pernikahan Islam tentang klausapersetujuan dari pihak istri. Besar kemungkinan pada saat Nabi SAW menikahi‘Aisyah, puteri Abu Bakar As Shiddiq itu adalah seorang wanita yang telahdewasa secara fisik dan matang secara intelektual.Sebetulnya, dalam masyarakat Arab tidak ada tradisi menikahkan anakperempuan yang baru berusia 7 atau 9 tahun. Demikian juga tak pernahterjadi pernikahan Nabi SAW dengan ‘Aisyah yang masih berusia kanak-kanak.Masyarakat Arab tak pernah keberatan dengan pernikahan seperti itu, karenakasusnya tak pernah terjadi. Menurut hemat kami, riwayat pernikahan ‘Aisyahpada usia 7 atau 9 tahun tak bisa dianggap valid dan reliable mengingatsederet kontradiksi dengan riwayat-riwayat lain dalam catatan sejarah Islamklasik. Lebih ekstrim, dapat dikatakan bahwa informasi usia ‘Aisyah yangmasih kanak-kanak saat dinikahi Nabi SAW hanyalah mitos semata.Nabi adalah seorang gentleman. Beliau takkan menikahi bocah ingusanyang masih kanak-kanak. Umur ‘Aisyah telah dicatat secara kontradiktif dalamliteratur hadis dan sejarah islam klasik. Karenanya, klaim sejumlah pihak yangmenikahi gadis di bawah umur dengan dalih meneladani sunnah Nabi SAW ituadalah bermasalah, baik dari sisi normatif (agama) maupun secara sosiologis(masyarakat). Jikalau riwayat-riwayat seputar pernikahan Nabi SAW dengan‘Aisyah yang masih kanak-kanak itu valid, itu juga tidak bisa serta mertadijadikan sandaran untuk mencontohnya. Tidakkah Nabi SAW itu memilikiprevilige (hak istimewa) yang hanya diperuntukkan secara khusus untuknya,tapi tidak untuk umatnya? Contoh yang paling gamblang adalah kebolehanNabi SAW menikahi lebih dari 4 orang istri.
C.
HUKUM PERNIKAHAN ANAK DI BAWAH UMUR BERDASARKANPERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN YANG BERLAKU DIINDONESIA
Berdasarkan
UU No. 23 tahun 2002 Pasal 1 tentang perlindungananak
, definisi anak adalah seseorang yang belum berusia 18 (delapan belas)
10
 
tahun, termasuk anak yang masih dalam kandungan. Setiap anak mempunyaihak dan kewajiban seperti yang tertuang dalam
UU No. 23 tahun 2002 Pasal4
: setiap anak berhak untuk dapat hidup, tumbuh, berkembang, danberpartisipasi secara wajar sesuai dengan harkat dan martabat kemanusiaan,serta mendapat perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi,
Pasal 9 ayat 1
:Setiap anak berhak memperoleh pendidikan dan pengajaran dalam rangkapengembangan pribadinya dan tingkat kecerdasannya sesuai dengan minat danbakatnya,
Pasal 11
: setiap anak berhak untuk beristirahat danmemanfaatkan waktu luang, bergaul dengan anak yang sebaya, bermain,berekreasi sesuai dengan minat, bakat, dan tingkat kecerdasannya demipengembangan diri,
Pasal 13 ayat 1
: setiap anak selama dalam pengasuhanorang tua, wali, atau pihak lain manapun yang bertanggung jawab ataspengasuhan, berhak mendapat perlindungan dari perlakuan (a) diskriminasi(b) eksploitasi, baik ekonomi maupun seksual (c) penelantaran (d) kekejaman,kekerasan, dan penganiayaan (e) ketidakadilan (f) perlakuan salah lainnya.Selain itu orang tua dan keluarganya mempunyai kewajiban dan tanggungjawab terhadap anak seperti yang tertulis di
UU no. 23 tahun 2002 Pasal 26ayat 1
: orang tua berkewajiban dan bertanggung jawab untuk (a) mengasuh,memelihara, mendidik, dan melindungi anak (b) menumbuhkembangkan anaksesuai dengan kemampuan, bakat, dan minatnya (d) mencegah terjadinyaperkawinan pada usia anak-anak.UU pelindungan anak dengan sangat jelas mengatur segala sesuatu yangberkaitan dengan anak, jadi sangatlah mengherankan jika masih banyakpelanggarn yang terjadi terhadap anak dalam konteks ini adalah pernikahananak di bawah umur. Hal seperti ini sangatlah tidak bisa diterima, dimanakahkeberadaan pemerintah sebagai pemegang otoritas tertinggi di RI ? Pernikahandi bawah umur sebenarnya kerap kali terjadi di masyarakat khususnya didaerah pedesaan tertinggal dimana kemiskinan dan kebodohan masih menjadimomok yang menakutkan, contohya : salah satu kabupaten di Jawa Baratterkenal dengan pernikahan anak di bawah umur dimana para anak gadis yangmasih lugu sengaja “dijual” orang tuanya untuk melakukan pernikahan dengantujuan memenuhi kebutuhan ekonomi keluarga. Hal seperti sangatlahmemilukan, pemerintah acapkali tutup mata dengan kasus pernikahan anak dibawah umur dan baru bertindak jika kasusnya terekspos ke khalayak luas olehmedia seperti yang sempat terjadi beberapa waktu lalu dimana pernikahansyekh Puji dengan Lutfiana Ulfa, gadis yang belum genap berusia 12 tahunterekspos oleh media dan menjadi kontroversi di masyarakat. Pemerintahdiharapkan lebih serius menindak setiap pelanggaran yang berkaitan dengananak dalam konteks ini adalah pernikahan anak di bawah umur. Setiap
11
 
pelanggaran terhadap pernikahan anak di bawah umur dapat dikenakan sanksipidana sesuai
UU no. 23 tahun 2002 Pasal 77
dengan pidana penjara palinglama 5 (lima) tahun dan/atau denda paling banyak Rp. 100.000.000 (seratusjuta rupiah).Selain UU perlindungan anak ada UU alternatif lain yang bisa dijadikanacuan dalam menentang perkawinan anak di bawah umur, yaitu
UU No. 1tahun 1974 tentang perkawinan
. UU ini menjelaskan syarat-syarat yangwajib dipenuhi calon mempelai sebelum melangsungkan pernikahan, menurut
UU no.1 tahun 1974 Pasal 6 ayat 1
: perkawinan harus didasarkan ataspersetujuan kedua calon mempelai,
Pasal 6 ayat 2
: untuk melangsungkanperkawinan seseorang yang belum mencapai umur 21 (duapuluh satu) tahunharus mendapat ijin kedua orang tua,
Pasal 7
: perkawinan hanya diijinkanjika pihak pria sudah mencapai umur 19 (sembilan belas) tahun dan pihakwanita sudah mencapai umur 16 (enam belas) tahun. 
D.
UPAYA MENYIKAPI ATAU MENCEGAH TERJADINYA PERNIKAHANANAK DI BAWAH UMUR
Pernikahan anak di bawah umur merupakan suatu fenomena sosial yangkerap terjadi khususnya di Indonesia. Fenomena pernikahan anak di bawahumur bila diibaratkan seperti fenomena gunung es, sedikit di permukaan atauyang terekspos dan sangat marak di dasar atau di tengah masyarakat luas.Dalih utama yang digunakan untuk memuluskan jalan melakukan pernikahandengan anak di bawah umur adalah mengikuti sunnah Nabi SAW. Namun, dalihseperti ini bisa jadi bermasalah karena masih terdapat banyak pertentangandi kalangan umat muslim tentang kesahihan informasi mengenai pernikahan dibawah umur yang dilakukan Nabi SAW dengan ‘Aisyah r.a. . Selain ituperaturan perundang-undangan yang berlaku di Indonesia dengan sangat jelasmenentang keberadaan pernikahan anak di bawah umur. Jadi tidak ada alasanlagi bagi pihak-pihak tertentu untuk melegalkan tindakan mereka yangberkaitan dengan pernikahan anak di bawah umur.Pemerintah harus berkomitmen serius dalam menegakkan hukum yangberlaku terkait pernikahan anak di bawah umur sehingga pihak-pihak yangingin melakukan pernikahan dengan anak di bawah umur berpikir dua kaliterlebih dahulu sebelum melakukannya. Selain itu, pemerintah harus semakingiat mensosialisasikan UU terkait pernikahan anak di bawah umur besertasanksi-sanksinya bila melakukan pelanggaran dan menjelaskan resiko-resiko
12
BAB I
PENDAHULUAN

A.  Latar Belakang

Anak sebagai generasi muda, merupakan potensi dan penerus cita-cita perjuangan bangsa. Anak merupakan modal pembangunan yang akan mempertahankan, memelihara dan mengembangkan hasil pembangunan yang ada. Oleh karena itu, anak memerlukan perlindungan dalam rangka menjamin pertumbuhan dan perkembangan fisik, mental dan sosial secara utuh, serasi dan seimbang. Kedudukan anak dalam hukum adalah sebagai subyek hukum ditentukan dari bentuk dan sistem terhadap anak sebagai kelompok masyarakat dan tergolong tidak mampu atau di bawah umur (UU No. 23 Tahun 2002).

Dalam Hukum Positif Indonesia, mengatur tentang perkawinan yang tertuang di dalam UU No.1 Tahun 1974 menyatakan bahwa “Perkawinan adalah ikatan lahir batin antara seorang pria dengan sesorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga (Rumah Tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa”.

Bagi perkawinan tersebut tentu harus dapat diperbolehkan bagi mereka yang telah memenuhi batasan usia untuk melangsungkan perkawinan seperti dalam Pasal 7 ayat 1 UU No.1 Tahun 1974 yang tertera bahwa, batasan usia untuk melangsungkan perkawinan itu pria sudah berusia 19 (Sembilan belas) Tahun dan wanita sudah mencapai usia 16 (Enam belas) Tahun. Secara eksplisit ketentuan tersebut dijelaskan bahwa setiap perkawinan yang dilakukan oleh calon pengantin prianya yang belum berusia 19 tahun atau wanitanya belum berusia 16 tahun disebut sebagai “Perkawinan di bawah umur”. Bagi perkawinan di bawah umur ini yang belum memenuhi batas usia perkawinan, pada hakikatnya di sebut masih berusia muda (anak-anak) yang ditegaskan dalam Pasal 81 ayat 2 UU No.23 Tahun 2002, “Bahwa anak adalah seseorang yang belum berusia 18 (delapan belas) tahun dikategorikan masih anak-anak, juga termasuk anak yang masih dalam kandungan, apabila melangsungkan perkawinan tegas dikatakan adalah perkawinan di bawah umur.

Dan itu merupakan pemangkasan kebebasan hak anak dalam memperoleh Hak hidup sebagai remaja yang berpotensi untuk tumbuh, berkembang dan berpotensi secara positif sesuai apa yang digaris bawahi agama. Jika anak masih berusia muda bisa dikatakan kekerasan dan diskriminasi terhadap anak-anak seperti yang telah dijelaskan Pasal 81 ayat 2 UU No.23 Tahun 2002. Dimana jelas bagi orang tua berkewajiban untuk mencegah adanya perkawinan pada usia muda.

Tetapi perkawinan di bawah umur merupakan peristiwa yang dianggap wajar dalam suatu masyarakat Indonesia, namun perkawinan di bawah umur bisa menjadi isu yang menarik perhatian publik dan berlanjut menjadi kasus hukum seperti terlihat dalam kasus perkawinan Syekh Puji dengan Lutviana ulfa (yang berusia 12 tahun), di mana muncul kontroversi terhadap kasus perkawinan di bawah umur ini.
 
B.  Rumusan Masalah

1.    Bagaimana hukum perkawinan di bawah umur berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku di Indonesia?
2.    Bagaimana hukum perkawinan anak di bawah umur menurut pandangan Islam?
3.    Bagaimana hukum perkawinan di bawah umur menurut pandangan Hukum Adat?
4.    Apa sajakah dampak yang ditimbulkan dari perkawinan di bawah umur?
5.    Bagaimana upaya mencegah terjadinya perkawinan di bawah umur?



BAB II
PEMBAHASAN

Indonesia merupakan Negara Hukum, dimana warga Indonesia harus mematuhi aturan-aturan yang telah dibuat oleh yang berwenang. Di sinilah terdapat beberapa penilaian dari faktor hukum, adat, adanya dampak terjadinya perkawinan di bawah umur dan upaya mencegah terjadinya Perkawinan di bawah umur.

1.    Hukum Perkawinan Di Bawah Umur Menurut Peraturan Perundang-undangan yang Berlaku Di Indonesia

Berdasarkan UU No. 1 tahun 1974 tentang perkawinan. UU ini menjelaskan syarat-syarat yang wajib dipenuhi calon mempelai sebelum melangsungkan pernikahan, menurut Pasal 6 ayat 1 UU no.1 tahun 1974 : perkawinan harus didasarkan atas persetujuan kedua calon mempelai, Pasal 6 ayat 2 UU No.1 Tahun 1974 : untuk melangsungkan perkawinan seseorang yang belum mencapai umur  21 (duapuluh satu) tahun harus mendapat ijin kedua orang tua, Pasal 7 UU No.1 Tahun 1974 : perkawinan hanya diijinkan jika pihak pria sudah mencapai umur 19 tahun dan pihak wanita sudah mencapai umur 16 tahun.
Sedangkan menurut negara pembatasan umur minimal untuk kawin bagi warga negara pada prinsipnya dimaksudkan agar orang yang akan menikah diharapkan sudah memiliki kematangan berpikir, kematangan jiwa dan kekuatan fisik yang memadai. Keuntungan lainnya yang diperoleh adalah kemungkinan keretakan rumah tangga yang berakhir dengan perceraian dapat dihindari, karena pasangan tersebut memiliki kesadaran dan pengertian yang lebih matang mengenai tujuan perkawinan yang menekankan pada aspek kebahagiaan lahir dan batin.
Selain itu juga Berdasarkan UU No. 23 tahun 2002 mencegah adanya perkawinan pasa usia anak-anak yaitu dimana dalam Pasal 1 tentang perlindungan anak, definisi anak adalah seseorang yang belum berusia 18 tahun, termasuk anak yang masih dalam kandungan. Setiap anak mempunyai hak dan kewajiban seperti yang tertuang dalam Pasal 4 UU No. 23 tahun 2002 : setiap anak berhak untuk dapat hidup, tumbuh, berkembang, dan berpartisipasi secara wajar sesuai dengan harkat dan martabat kemanusiaan, serta mendapat perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi, Pasal 9 ayat 1 UU No.23 Tahun 2002 : Setiap anak berhak memperoleh pendidikan dan pengajaran dalam rangka pengembangan pribadinya dan tingkat kecerdasannya sesuai dengan minat dan bakatnya, Pasal 11 UU No.23 Tahun 2002: setiap anak berhak untuk beristirahat dan memanfaatkan waktu luang, bergaul dengan anak yang sebaya, bermain, berekreasi sesuai dengan minat, bakat, dan tingkat kecerdasannya demi pengembangan diri, Pasal 13 ayat 1 UU No.23 Tahun 2002 : setiap anak selama dalam pengasuhan orang tua, wali, atau pihak lain manapun yang bertanggung jawab atas pengasuhan, berhak mendapat perlindungan dari perlakuan :
a)    diskriminasi
b)   eksploitasi, baik ekonomi maupun seksual
c)    penelantaran
d)   kekejaman, kekerasan, dan penganiayaan
e)    ketidakadilan
f)    perlakuan salah lainnya.

Selain itu orang tua dan keluarganya mempunyai kewajiban dan tanggung jawab terhadap anak seperti yang tertulis di Pasal 26 ayat 1 UU no. 23 tahun 2002 : orang tua berkewajiban dan bertanggung jawab untuk :
a)      mengasuh, memelihara, mendidik, dan melindungi anak
b)      menumbuhkembangkan anak sesuai dengan kemampuan, bakat, dan minatnya
c)      mencegah terjadinya perkawinan pada usia anak-anak.


2.    Hukum Perkawinan Di Bawah Umur Menurut Pandangan Hukum Islam
Sebagai muslim, merupakan kewajiban untuk merujuk sumber utama dari ajaran Islam, yakni Al-Qur’an. Apakah Al-Qur’an mengizinkan atau melarang perkawinan di bawah umur? Perkawinan adalah suatu aqad yang sangat kuat (misaqan ghalizan) untuk menaati perintah Allah swt dan melaksanakannya merupakan suatu ibadah. Yang bertujuan untuk mewujudkan rumah tangga yang sakinah mawaddah wa rahmah. Dan hukumnya dapat berubah sesuai berubahnya “illah”, ayaitu dapat sunnah, makruh, haram dan wajib.
Sebagaimana terlihat dalam Hadist berikut “ …… sedangkan aku menikah, maka barangsiapa tidak suka sunnah (petunjukku), maka bukan dari golonganku”. Perintah dan anjuran melakukan pernikahan, tidak memberikan batasan umur, namun ditekankan perlunya kedewasaan seseorang melakukan pernikahan untuk mencegah kemudharatan (hal-hal buruk). Sehingga kedewasaan secara psikologis dan biologis secara implicit di anjurkan melalui beberapa Hadist dan yang tertera dalam ayat Al-Qur’an. Namun, muncul kontroversi menyangkut batasan kedewasaan seseorang untuk boleh menikah, yang berimplikasi terhadap tidak ada keberatan atas pernikahan di bawah umur dari pandangan Islam.

3.    Hukum Perkawinan Di Bawah Umur Menurut Pandangan Hukum Adat
Hukum adat tidak menentukan batasan umur tertentu bagi orang untuk melaksanakan perkawinan. Bahkan hukum adat membolehkan perkawinan anak-anak yang dilaksanakan ketika anak masih berusia kanak-kanak. Hal ini dapat terjadi karena di dalam Hukum Adat perkawinan bukan saja merupakan persatuan kedua belah mempelai tetapi juga merupakan persatuan dua buah keluarga kerabat. Adanya perkawinan di bawah umur atau perkawinan kanan-kanak tidak menjadi masalah di dalam Hukum Adat karena kedua suami isteri itu akan tetap dibimbing oleh keluarganya, yang dalam hal ini telah menjadi dua keluarga, sehingga Hukum Adat tidak melarang perkawinan kanak-kanak.


4.    Dampak Terjadinya Perkawinan Di Bawah Umur
Apapun alasannya, perkawinan tersebut dari tinjauan berbagai aspek sangat merugikan kepentingan anak dan sangat membahayakan kesehatan anak akibat dampak perkawinan dini atau perkawinan di bawah umur. Berbagai dampak pernikahan dini atau perkawinan dibawah umur dapat dikemukakan sbb.

  • Dampak terhadap hukum
Adanya pelanggaran terhadap 3 Undang-undang di negara kita yaitu:
a.    UU No. 1 tahun 1974 tentang Perkawinan
  • Pasal 7 (1) UU No.1 Tahun 1974 : Perkawinan hanya diizinkan jika pihak pria sudah mencapai umur 19 tahun dan pihak wanita sudah mencapai umur 16 tahun.
  • Pasal 6 (2) UU No.1 Tahun 1974 : Untuk melangsungkan perkawinan seorang yang belum mencapai umur 21 tahun harus mendapat izin kedua orang tua.
b.    UU No. 23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, Pasal 26 (1) Orang tua berkewajiban dan bertanggung jawab untuk:
  1. mengasuh, memelihara, mendidik dan melindungi anak
  2. menumbuh kembangkan anak sesuai dengan kemampuan, bakat dan minatnya dan
  3. mencegah terjadinya perkawinan pada usia anak-anak.
  • Dampak biologis
Anak secara biologis alat-alat reproduksinya masih dalam proses menuju kematangan sehingga belum siap untuk melakukan hubungan seks dengan lawan jenisnya, apalagi jika sampai hamil kemudian melahirkan. Jika dipaksakan justru akan terjadi trauma, perobekan yang luas dan infeksi yang akan membahayakan organ reproduksinya sampai membahayakan jiwa anak. Patut dipertanyakan apakah hubungan seks yang demikian atas dasar kesetaraan dalam hak reproduksi antara isteri dan suami atau adanya kekerasan seksual dan pemaksaan (penggagahan) terhadap seorang anak.
  • Dampak Psikologis
Secara psikis anak juga belum siap dan mengerti tentang hubungan seks, sehingga akan menimbulkan trauma psikis berkepanjangan dalam jiwa anak yang sulit disembuhkan. Anak akan murung dan menyesali hidupnya yang berakhir pada perkawinan yang dia sendiri tidak mengerti atas putusan hidupnya. Selain itu, ikatan perkawinan akan menghilangkan hak anak untuk memperoleh pendidikan (Wajar 9 tahun), hak bermain dan menikmati waktu luangnya serta hak-hak lainnya yang melekat dalam diri anak.
  • Dampak Sosial
Fenomena sosial ini berkaitan dengan faktor sosial budaya dalam masyarakat patriarki yang bias gender, yang menempatkan perempuan pada posisi yang rendah dan hanya dianggap pelengkap seks laki-laki saja. Kondisi ini sangat bertentangan dengan ajaran agama apapun termasuk agama Islam yang sangat menghormati perempuan (Rahmatan lil Alamin). Kondisi ini hanya akan melestarikan budaya patriarki yang bias gender yang akan melahirkan kekerasan terhadap perempuan.
  • Dampak perilaku seksual menyimpang
Adanya prilaku seksual yang menyimpang yaitu prilaku yang gemar berhubungan seks dengan anak-anak yang dikenal dengan istilah pedofilia. Perbuatan ini jelas merupakan tindakan ilegal (menggunakan seks anak), namun dikemas dengan perkawinan se-akan2 menjadi legal. Hal ini bertentangan dengan UU.No.23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak khususnya pasal 81, ancamannya pidana penjara maksimum 15 tahun, minimum 3 tahun dan pidana denda maksimum 300 juta dan minimum 60 juta rupiah. Apabila tidak diambil tindakan hukum terhadap orang yang menggunakan seksualitas anak secara ilegal akan menyebabkan tidak ada efek jera dari pelaku bahkan akan menjadi contoh bagi yang lain.

Para sarjana/ahli hukum berpendapat faktor- faktor yang mempengaruhi terjadinya perkawinan dalam usia muda :
  1. Menurut RT. Akhmad Jayadiningrat, sebab-sebab utama dari perkawinan usia muda adalah:
a)      Keinginan untuk segera mendapatkan tambahan anggota keluarga
b)      Tidak adanya pengertian mengenai akibat buruk perkawinan terlalu muda, baik bagi mempelai itu sendiri maupun keturunannya.
c)      Sifat kolot orang jawa yang tidak mau menyimpang dari ketentuan adat. Kebanyakan orang desa mengatakan bahwa mereka itu mengawinkan anaknya begitu muda hanya karena mengikuti adat kebiasaan saja.
  1. Terjadinya perkawinan usia muda menurut Hollean dalam Suryono disebabkan oleh:
a)      Masalah ekonomi keluarga.
b)      Orang tua dari gadis meminta masyarakat kepada keluarga laki-laki apabila mau mengawinkan anak gadisnya.
c)      Bahwa dengan adanya perkawinan anak-anak tersebut, maka dalam keluarga gadis akan berkurang satu anggota keluarganya yang menjadi tanggung jawab (makanan, pakaian, pendidikan, dan sebagainya).

Selain menurut para sarjana/ahli hukum di atas, ada beberapa faktor yang mendorong terjadinya perkawinan usia muda yang sering dijumpai di lingkungan masyarakat kita yaitu :
a.    Ekonomi
Perkawinan usia muda terjadi karena keadaan keluarga yang hidup di garis kemiskinan, untuk meringankan beban orang tuanya maka anak wanitanya dikawinkan dengan orang yang dianggap mampu.
b.    Pendidikan
Rendahnya tingkat pendidikan maupun pengetahuan orang tua, anak dan masyarakat, menyebabkan adanya kecenderungan mengawinkan anaknya yang masih dibawah umur.
  
c.    Faktor orang tua
Orang tua khawatir kena aib karena anak perempuannya berpacaran dengan laki-laki yang sangat lengket sehingga segera mengawinkan anaknya.
d.    Media massa
Gencarnya ekspose seks di media massa menyebabkan remaja modern kian Permisif terhadap seks.
e.    Faktor adat
Perkawinan usia muda terjadi karena orang tuanya takut anaknya dikatakan perawan tua sehingga segera dikawinkan.

5.    Upaya Mencegah Terjadinya Perkawinan Di Bawah Umur
Pasal 288 KUHP telah menyebutkan bahwa batrang siapa dalam perkawinan bersetubuh dengan seorang wanita yang diketahui atau sepatutnya harus diduganya bahwa yang bersangkutan belum waktunya dikawini, apabila mengakibatkan luka-luka berat diancam paling lama empat tahun, jika mengakibatkan luka-luka berat diancam pidana penjara paling lama delapan tahun dan jika mengakibatkan mati diancam pidana paling lama dua belas tahun.
Namun perlu deketahui bahwa masalah perkawinan adalah masalah perdata. Kalaaupun terjadi tindak pidana dalam perkawinan seperti disebut pasal 288 KUHP, sering kali penylesaiannya secara perdata atau tidak diselesaikan sekali. Sebab, terkait dengan rahasia ataupun kehormatan rumah tangga. Seringkali pihak istri atau keluarganya tidak melaporkan kekerasan tersebut entah karena alasan takut, aib kluarga, atau kesulitan dalam dalam menghadirkan alat bukti. Langkah paling maju yang dapat dilakukan untuk menekan laju pernikahan dibawah umur adalah dengan mencegah atau membatalkan perkawinan jenis tersebut. Namun sekali lagi, perlu ada keberatan dari salah satu mempelai, keluarga, ataupun pejabat pengawas perkawinan. Apabilah pasangan mempelai dan juga keluarga tak keberatan maka tindakan yang paling mungkin dilakukan adalah tidak mencatatkan pernikahanya dihadapan Kantor Pencatat Nikah (KUA atau Kantor Catatan Sipil). Otomatis pernikahan yang tidak tercatat dilembaga pencatat nikah adalah pernikahan yang tidak berkekuatan hukum, kendati barangkali dapat disebut sah menurut keyakinan agama masing-masing pasangan. Pasal 20 dan 21 UU No. 1 tahun 1974 cukup tegas dalam masalah ini. Disebutkan bahwa pegawai pencatat tidak diperbolehkan melangsungkan atau membantu melangsungkan perkawinan bila ia mengetahui antara lain adanya pelanggaran dari ketentuan batas umur minimum pernikahan. Namun perkawinan yang tak dicatatkan juga  bukan tanpa resiko. Yang mengalami kerugian utama adalah pihak istri dan anak-anak yang dilahirkannya. Karena, apabila ia tak memiliki dokumen pernikahannya, seperti suran nikah, maka ia akan kesulitan mengklaim hak-haknya selaku istri terkait dengan masalah perceraian, kewarisan, tunjangan kluarga, dan lain-lain.
Jadi, upayah pencegahan pernikahan dibawah umur dirasa akan semakin maksimal bila angota masyarakat turt serta berperan aktif dalam upaya pencegahan pernikahan anak dibawah umur. Sinergi antara pemerintah dan msyarakat merupakan langkah terbaik yang diharapkan untuk mencegah atau meminimalisir pernikahan anak dibawah umur. Control sosial masyarakat sangat diharapkan untuk hal ini, sehingag ke depanya anak-anak negeri ini tidak lagi menjadi korban pernikahan usia muda,tetapi memiliki masa depan yang cerah untuk mraik cita-citanya.



BAB III
KESIMPULAN DAN SARAN

Pernikahan merupakan suatu perbuatan yang sangat sakral. Untuk menjaga kesakralan tersebut hendaknya pernikahan dilakukan dengan sebaik-baiknya dan sesuai dengan peraturan yang berlaku baik peraturan agama maupun peraturan negara tempat berlangsungnya pernikahan tersebut.

Pernikahan anak di bawah umur masih menjadi kontroversi di tengah masyarakat. Hal ini dapat terjadi karena adanya perbedaan pandangan diantara pihak-pihak terkait dalam hal menyikapi pernikahan anak di bawah umur. Pemerintah sebagai pemegang kekuasaan tertinggi di negara Indonesia diharapkan bisa menjadi penengah diantara pihak-pihak yang berselisih dan mampu menegakkan regulasi terkait pernikahan anak di bawah umur. Sinergi antara dua belah pihak yaitu pemerintah dan masyarakat merupakan jalan keluar terbaik yang bisa diambil sementara ini agar pernikahan anak di bawah umur bisa dicegah dan ditekan seminimal mungkin keberadaannya di tengah masyarakat.


DAFTAR PUSTAKA

Soedharyo Soimin, SH, Hukum Orang dan Keluarga, Sinar Grafika, Jakarta, 1992
Drs. M. Thahir Hi. Salim, MH, Bahan Ajar Hukum Perdata, 2009
Kitab Undang-undang Hukum Perdata
Undang-Undang No.1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan