KATA
PENGANTAR
Hak asasi adalah hak yang paling dasar melekat pada diri manusia.
Haktersebut digunakan dengan tujuan agar manusia dapat memenuhi kebutuhan-kebutuhan dalam kehidupannya, sehingga mereka akan
merasakan keadilanketika melakukan suatu hal yang menjadi kewajibannya.Guna menunjang pengetahuan tentang hak asasi
manusia itu,pembahasan dalam makalah
ini mengarah pada penentuan titik terang “dilematis antara hak asasi menikah dan hak asasi perlindungan anak dalamkontroversi
pernikahan anak di bawah umur “, dengan demikian di waktu yangakan datang
diharapkan hak asasi manusia bisa terpenuhi tanpa adanya suatuproblema
(kontroversi).Demi penyempurnaan makalah
ini, kami mengharapkan kritik sertasaran
dari para pembaca dan pemakai makalah ini, khususnya Bapak / Ibudosen pengajar mata kuliah Ilmu Sosial Budaya
Dasar.Semoga makalah ini bermanfaat
bagi kita semua untuk memacukepedulian manusia dalam menghormati dan
menghargai hak asasi.Surabaya, Nopember 2008Penyusun
2
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR
………………………………………………………………………………………… 1
DAFTAR ISI
……………………………………………………………………………………………………. 2
BAB I :
PENDAHULUAN
A.
LATAR BELAKANG MASALAH ………………………………………………………… 3
B.
RUMUSAN MASALAH ……………………………………………………………………… 3
C.
TUJUAN ………………………………………………………………………………………… 4
D.
MANFAAT …………………………………………………………………………………….. 4
BAB II
:KAJIAN PUSTAKA
………………………………………………………………………………………… 5
BAB III :
PEMBAHASAN
A.
SEBAB-SEBAB TIMBULNYA KONTROVERSI
PERNIKAHANANAK DI BAWAH UMUR ………………………………………………………………… 7
B.
HUKUM PERNIKAHAN ANAK DI BAWAH UMUR MENURUTPANDANGAN
ISLAM ……………………………………………………………………… 8
C.
HUKUM PERNIKAHAN ANAK DI BAWAH UMUR
BERDASARKANPERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN YANG BERLAKUDI
INDONESIA ……………………………………………………………………………… 9
D.
UPAYA MENYIKAPI ATAU MENCEGAH TERJADINYA
PERNIKAHANANAK DI BAWAH UMUR …………………………………………… 11
BAB IV :
KESIMPULAN DAN SARAN
…………………………………………………………………………… 13
DAFTAR PUSTAKA
……………………………………………………………………………………… 14
3
BAB IPENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG MASALAH
Pernikahan merupakan salah satu hak asasi
seseorang sebagai puncakmeraih kebahagiaan hidup, karena melalui pernikahanlah
sebuah keluargadapat terbentuk secara utuh. Berangkat dari pemikiran tersebut,
kita perlumengetahui bagaimana konsep yang tepat mengenai hak asasi menikah yaituyang
tidak melanggar hak asasi yang lain.Oleh
karena itu, kami merasa perlu mengupas tuntas tentangkeberadaan pernikahan anak di bawah umur yang
masih menjadi topikpembicaraan yang
hangat bagi masyarakat, sebab pernikahan anak di bawahumur terus dibayangi
kontroversi mengenai dilematis dua hak asasi manusiayaitu hak asasi
pernikahan/perkawinan dan hak asasi perlindungan anak yangkeduanya dihadapkan
pada suatu perdebatan sengit terkait dengan hak asasimanakah yang diprioritaskan lebih dulu, mengingat kedua hak asasi
tersebutsama-sama penting bagai seseorang yang berkehendak untuk
menuntut akanpemenuhan hak asasi atas kepentingan pribadinya.Perdebatan dilematis tersebut kian merebak menjadi
masalah sosial,sehingga memicu
munculnya berbagai komentar atau opini anggotamasyarakat dari berbagai kalangan. Untuk itu, perlu adanya pengkajianterhadap masalah ini, agar kita bisa menemukan
jawaban yang memuaskandan mencari
solusi yang tepat guna menghadapi sekaligus menyelesaikanpermasalahan
ini.
B.RUMUSAN MASALAH
Untuk memudahkan dalam pembahasan masalah maka penulismembatasi permasalahan ini pada,
1.
Mengapa pernikahan anak di bawah umur menimbulkan kontroversi ?
2.
Bagaimana hukum pernikahan anak di bawah umur
menurutpandangan Islam ?
4
3.
Bagaimana hukum pernikahan di bawah umur berdasarkan peraturanperundang-undangan
yang berlaku di Indonesia ?
4.
Bagaimana upaya menyikapi atau mencegah
terjadinya pernikahananak di bawah umur ?
C.TUJUAN
Adapun tujuan dari makalah ini yaitu :
1.
Mendorong seseorang agar mengetahui konsep
pernikahan yangbenar dan yang tidak menimbulkan kontroversi di
kalanganmasyarakat.
2.
Menganalisis hukum pernikahan anak di bawah
umur menurutpandangan Islam dan berdasarkan peraturan
perundang-undanganyang berlaku di Indonesia.
3.
Menciptakan upaya untuk menyikapi atau mencegah
terjadinyapernikahan anak di bawah umur.
D.MANFAAT
Adapun manfaat dari makalah ini yaitu :
1.
Mewujudkan kesadaran seseorang untuk mematuhi
hukum yangberlaku.
2.
Menumbuhkan sikap menghormati dan menghargai hak
asasimanusia.
3.
Mengembangkan pola pikir dan perilaku manusia yang bermoral atauyang sesuai
dengan norma.
5
BAB IIKAJIAN PUSTAKA
Indonesia dari waktu ke waktu kian akrab dengan
berbagaipermasalahan sosial, hal tersebut dapat
dibuktikan dengan munculnya salahsatu fenomena yang menjadi
topik perbincangan terkini di masyarakat, yaitumasalah tentang pernikahan atau
perkawinan anak di bawah umur. Bagaimanatidak ? Perkawinan tersebut telah
memicu munculnya kontroversi yang hebat.Adapun
‘tokoh’ yang terlibat dalam problema tersebut adalah pelakuperkawinan di bawah
umur beserta para pengikut atau pembela yangbertindak sebagai pihak yang
pro, sedangkan masyarakat maupun pemerintahduduk sebagai pihak yang kotra.Pujiono Cahyo Widianto atau yang lebih dikenal
dengan Syekh puji,seorang pria setengah baya yang menikahi gadis belia yang
belum genapberumur 12 tahun, menilai pernikahannya dengan anak tersebut
benar dan sahdi mata agama Islam. Ia
mengungkapkan bahwa apa yang dilakukannya itusesuai dengan sunnah Rasul
dan tidak perlu diributkan khalayak ramai.Sedangkan
di sisi lain, Muhammad Maftuh Basyumi, selaku MenteriAgama mempunyai argumen
tersendiri tentang pernikahan anak di bawahumur. Beliau berpendapat bahwa pernikahan tersebut tidak benar dan
bisa-bisa pelakunya dikenai sanksi sesuai pelanggaran yang dia lakukan. Di
sela-sela kesibukannya membuka
Halaqah pengembangan pondok pesantren diHotel Mercuri, Jakarta beberapa waktu
lalu, Menteri Agama menjelaskanbahwa di Indonesia orang Islam terikat
dengan dua ukuran. Di satu sisi sebagaimuslim, dia terikat pada syariat, sementara
di sisi lain sebagai warga negarayang
terikat pada hukum positif, dalam hal ini UU perkawinan, dari sudutpandang
peraturan di UU perkawinan, pernikahan tersebut tidak sah danberpotensi menimbulkan masalah dalam hal
perlindungan anak. (Sumber :kompas.com). Namun, argumen beliau tersebut
bertolak belakang denganopini pihak yang membenarkan pernikahan
tersebut.Tak berhenti pada statement
tersebut, Dosen Jurusan Sastra ArabUniversitas
Negeri Malang juga menentang pernikahan anak di bawah umur.Beliau menegaskan
bahwa klaim sejumlah pihak yang menikahi gadis di bawahumur dengan dalih
meneladani sunnah Rasul itu adalah bermasalah, baik dari
6
segi normatif (agama) maupun sosiologis
(masyarakat). (Sumber :islamlib.com).Pengecaman terhadap pernikahan kontroversial
tersebut juga datangdari anggota masyarakat. Niam, salah seorang warga
masyarakat berpendapatbahwa pernikahan anak di bawah umur dengan cara
pernikahan siri (di bawahtangan) meski sah menurut agama, dapat meniadakan
hak-hak perdata anak,yang pada konteks
masalah syekh puji adalah pihak perempuan. (Sumber :kompas.com).
7
BAB IIIPEMBAHASAN
A.
SEBAB-SEBAB TIMBULNYA KONTROVERSI PERNIKAHAN
ANAKDI BAWAH UMUR
Berdasarkan kutipan- kutipan yang dijelaskan pihak-pihak terkait dapatdipahami bahwa realita pro dan kontra tentang
pernikahan anak di bawahumur masih
belum menemukan titik penyelesaian, faktor utama yangmembuat
permasalahan itu berlarut-larut adalah tidak adanya kesepahamanantara dua kubu yang mempunyai pandangan yang
berbeda. Kelompok yangsetuju berambisi mempertahankan haknya untuk menikahi
anak di bawahumur dengan alasan beribadah, mendapat persetujuan orang tua dari
anakyang hendak dinikahi, dan
beberapa alibi lain yang digunakan sebagaipendukung tanpa memperhatikan
kepentingan atau hak asasi utama si anak.Adapun
kelompok yang melarang penikahan anak di bawah umur,berusaha
memperjuangkan hak-hak yang seharusnya didapat oleh anak. Jikadilihat dari
aspek sosial ekonomi, Pernikahan ini dicap menimbulkan masalahdalam hal perlindungan anak, sebab dalam relita
yang sebenarnya terjadi dimasyarakat,
pernikahan ini acapkali dijadikan dalih para orang tua untukmengeksploitasi
atau ‘mengorbankan’ anak mereka demi terpenuhinyakebutuhan ekonomi keluarga. Di samping itu, jika si anak adalah pihakperempuan, maka dapat dikatakan bahwa pernikahan
anak di bawah umurtelah mengabaikan
dan bahkan merendahkan derajat serta martabatperempuan. Dampak dari perilaku pernikahan ini menyebabkan traumaseksual serta berdampak buruk pada kesehatan
reproduksi pada anakperempuan. Secara
mental psikologis, si anak juga dirasa belum mampumembuat keputusan yang tepat bagi dirinya untuk
menanggung bebantanggung jawab
mengurus kehidupan rumah tangga yang semestinya adalahuntuk orang yang
sudah cukup umur atau dewasa. Selain itu, bagi pihak anaksecara tidak disadari banyak efek negatif yang
akan timbul diakibatkanpernikahan ini, mulai dari terbatasnya pergaulan hingga
hilangnya masabermain dengan anak sebaya yang berimbas pada perkembangan
mental danemosional si anak.
8
B.HUKUM PERNIKAHAN ANAK DI BAWAH UMUR MENURUTPANDANGAN ISLAM
Sebagai muslim, merupakan kewajiban untuk
merujuk sumber utamadari ajaran Islam, yakni Al Qur’an.
Apakah Al Qur’an mengijinkan atau justrumelarang pernikahan dari gadis ingusan
di bawah umur? Yang jelas, tidak adasatu
ayatpun yang secara eksplisit mengijinkan pernikahan seperti itu. Adasebuah
ayat yang dapat dijadikan inspirasi untuk menjawab persoalan di atas,meski substansi dasarnya adalah tuntunan bagi
muslim dalam mendidik danmemperlakukan anak yatim. Meski demikian, petunjuk Al
Qur’an mengenaiperlakuan anak yatim itu dapat juga kita terapkan pada anak
kandung kitasendiri. Ayat tersebut adalah : “Ujilah anak yatim itu sampai
mereka cukupumur untuk kawin. Kemudian jika menurut pendapatmu mereka
telah cerdas(mampu mengelola harta), maka
serahkan kepada mereka harta bendanya.”(Q.S.
An Nisa’ : 6).Dalam kasus anak yang
ditinggal wafat orang tuanya, seorang bapakasuh diperintahkan untuk: (1) mendidik, (2) menguji kedewasaan
mereka“sampai usia menikah” sebelum mempercayakan pengelolaan keuangansepenuhnya. Di sini ayat Al Qur’an mempersyaratkan
perlunya tes dan buktiobyektif
perihal kematangan fisik dan kedewasaan intelektual anak asuhsebelum memasuki usia nikah sekaligus
mempercayakan pengelolaan hartabenda kepadanya. Logikanya, jika bapak
asuh tidak diperbolehkan sembarangmengalihkan
pengelolaan keuangan kepada anak asuh yang masih kanak-kanak, tentunya
bocah ingusan tersebut juga tidak layak, baik secara fisik danintelektual untuk menikah. Oleh karena itu, sulit
dipercaya, Abu Bakar AsShiddiq,
seorang pemuka sahabat, menunangkan anaknya yang masih beliaberusia 7 tahun,
untuk kemudian menikahkannya pada usia 9 tahun dengansahabatnya yang
telah berusia setengah abad. Demikian pula halnya, sungguhsulit dibayangkan bahwa Nabi SAW menikai gadis
ingusan berusia 7 atau 9tahun. Ringkasnya, pernikahan ‘Aisyah pada usia 7 atau
9 tahun itu bisabertentangan dengan prasyarat kedewasaan fisik dan
kematangan intelektualyang ditetapkan Al
Qur’an. Oleh karena itu, dapat disimpulkan bahwa ceritapernikahan ‘Aisyah gadis
belia berusia 7 atau 9 tahun dengan Nabi SAW, ituadalah mitos yang perlu
diuji kesahihannya.Di samping
persoalan-persoalan yang telah dikemukakan di atas,seorang wanita sebelum dinikahkan harus ditanya
dan dimintai persetujuanagar pernikahan yang dilakukannya itu menjadi
sah. Dengan berpegang padaprinsip ini, persetujuan yang diberikan gadis belum
dewasa (berusia 7 atau 9
9
tahun) tentu tidak dapat dipertanggungjawabkan, baik secara moral
maupunintelektual. Adalah tidak terbayangkan bahwa Abu Bakar meminta
persetujuanputerinya yang masih kanak-kanak.
Buktinya, menurut hadis riwayat IbnHanbal,
‘Aisyah masih suka bermain-main dengan bonekanya ketika mulaiberumah
tangga dengan Nabi SAW. Nabi SAW sebagai utusan Allah yang mahasuci juga tidak
akan menikahi gadis ingusan berusia 7 atau 9 tahun, karena halitu tidak memenuhi syarat dasar sebuah pernikahan
Islam tentang klausapersetujuan dari pihak istri. Besar kemungkinan pada
saat Nabi SAW menikahi‘Aisyah, puteri Abu
Bakar As Shiddiq itu adalah seorang wanita yang telahdewasa secara fisik
dan matang secara intelektual.Sebetulnya, dalam masyarakat Arab tidak ada
tradisi menikahkan anakperempuan yang baru
berusia 7 atau 9 tahun. Demikian juga tak pernahterjadi pernikahan Nabi
SAW dengan ‘Aisyah yang masih berusia kanak-kanak.Masyarakat Arab tak pernah
keberatan dengan pernikahan seperti itu, karenakasusnya tak pernah terjadi.
Menurut hemat kami, riwayat pernikahan ‘Aisyahpada
usia 7 atau 9 tahun tak bisa dianggap valid dan reliable mengingatsederet
kontradiksi dengan riwayat-riwayat lain dalam catatan sejarah Islamklasik. Lebih ekstrim, dapat dikatakan bahwa
informasi usia ‘Aisyah yangmasih kanak-kanak saat dinikahi Nabi SAW
hanyalah mitos semata.Nabi adalah seorang gentleman. Beliau takkan menikahi
bocah ingusanyang masih kanak-kanak. Umur ‘Aisyah telah dicatat secara
kontradiktif dalamliteratur hadis dan sejarah islam klasik. Karenanya, klaim
sejumlah pihak yangmenikahi gadis di bawah umur dengan dalih meneladani sunnah
Nabi SAW ituadalah bermasalah, baik dari sisi normatif (agama) maupun secara
sosiologis(masyarakat). Jikalau
riwayat-riwayat seputar pernikahan Nabi SAW dengan‘Aisyah yang masih kanak-kanak itu valid, itu juga
tidak bisa serta mertadijadikan
sandaran untuk mencontohnya. Tidakkah Nabi SAW itu memilikiprevilige (hak
istimewa) yang hanya diperuntukkan secara khusus untuknya,tapi tidak untuk
umatnya? Contoh yang paling gamblang adalah kebolehanNabi SAW menikahi lebih dari 4 orang istri.
C.
HUKUM PERNIKAHAN ANAK DI BAWAH UMUR BERDASARKANPERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN YANG BERLAKU DIINDONESIA
Berdasarkan
UU No. 23 tahun 2002 Pasal 1 tentang
perlindungananak
, definisi anak adalah seseorang yang belum
berusia 18 (delapan belas)
10
tahun, termasuk anak yang masih dalam kandungan. Setiap anak mempunyaihak
dan kewajiban seperti yang tertuang dalam
UU No. 23 tahun 2002 Pasal4
: setiap anak berhak untuk dapat hidup, tumbuh,
berkembang, danberpartisipasi secara wajar sesuai dengan harkat dan martabat
kemanusiaan,serta mendapat perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi,
Pasal 9 ayat 1
:Setiap anak berhak memperoleh
pendidikan dan pengajaran dalam rangkapengembangan pribadinya dan
tingkat kecerdasannya sesuai dengan minat danbakatnya,
Pasal 11
: setiap anak berhak untuk beristirahat danmemanfaatkan waktu luang, bergaul dengan anak
yang sebaya, bermain,berekreasi sesuai dengan minat, bakat, dan tingkat
kecerdasannya demipengembangan diri,
Pasal 13 ayat 1
: setiap anak selama dalam pengasuhanorang
tua, wali, atau pihak lain manapun yang bertanggung jawab ataspengasuhan, berhak mendapat perlindungan dari
perlakuan (a) diskriminasi(b) eksploitasi, baik ekonomi maupun seksual
(c) penelantaran (d) kekejaman,kekerasan,
dan penganiayaan (e) ketidakadilan (f) perlakuan salah lainnya.Selain itu orang
tua dan keluarganya mempunyai kewajiban dan tanggungjawab terhadap anak
seperti yang tertulis di
UU no. 23 tahun 2002 Pasal 26ayat 1
: orang tua berkewajiban dan bertanggung jawab untuk (a)
mengasuh,memelihara, mendidik, dan melindungi anak (b) menumbuhkembangkan anaksesuai dengan kemampuan, bakat, dan minatnya (d)
mencegah terjadinyaperkawinan pada usia anak-anak.UU pelindungan anak
dengan sangat jelas mengatur segala sesuatu yangberkaitan dengan anak, jadi sangatlah mengherankan jika masih banyakpelanggarn yang terjadi terhadap anak dalam
konteks ini adalah pernikahananak di bawah umur. Hal seperti ini
sangatlah tidak bisa diterima, dimanakahkeberadaan pemerintah sebagai pemegang
otoritas tertinggi di RI ? Pernikahandi
bawah umur sebenarnya kerap kali terjadi di masyarakat khususnya didaerah
pedesaan tertinggal dimana kemiskinan dan kebodohan masih menjadimomok yang menakutkan, contohya : salah satu
kabupaten di Jawa Baratterkenal dengan pernikahan anak di bawah umur
dimana para anak gadis yangmasih lugu sengaja “dijual” orang tuanya untuk
melakukan pernikahan dengantujuan memenuhi
kebutuhan ekonomi keluarga. Hal seperti sangatlahmemilukan, pemerintah
acapkali tutup mata dengan kasus pernikahan anak dibawah umur dan baru
bertindak jika kasusnya terekspos ke khalayak luas olehmedia seperti yang sempat terjadi beberapa waktu lalu dimana
pernikahansyekh Puji dengan Lutfiana Ulfa, gadis yang belum genap berusia 12
tahunterekspos oleh media dan menjadi kontroversi di masyarakat.
Pemerintahdiharapkan lebih serius menindak setiap pelanggaran yang berkaitan
dengananak dalam konteks ini adalah
pernikahan anak di bawah umur. Setiap
11
pelanggaran terhadap pernikahan anak di bawah umur dapat dikenakan
sanksipidana sesuai
UU no. 23 tahun 2002 Pasal 77
dengan pidana penjara palinglama 5
(lima) tahun dan/atau denda paling banyak Rp. 100.000.000 (seratusjuta
rupiah).Selain UU perlindungan anak ada UU alternatif lain yang bisa dijadikanacuan dalam menentang perkawinan anak di bawah
umur, yaitu
UU No. 1tahun
1974 tentang perkawinan
. UU ini menjelaskan syarat-syarat yangwajib dipenuhi calon mempelai sebelum melangsungkan pernikahan, menurut
UU no.1 tahun 1974 Pasal 6 ayat 1
: perkawinan harus didasarkan ataspersetujuan
kedua calon mempelai,
Pasal 6 ayat 2
: untuk melangsungkanperkawinan seseorang yang
belum mencapai umur 21 (duapuluh satu) tahunharus mendapat ijin kedua orang
tua,
Pasal 7
: perkawinan hanya diijinkanjika pihak pria
sudah mencapai umur 19 (sembilan belas) tahun dan pihakwanita
sudah mencapai umur 16 (enam belas) tahun.
D.
UPAYA MENYIKAPI ATAU MENCEGAH TERJADINYA
PERNIKAHANANAK DI BAWAH UMUR
Pernikahan anak di bawah umur merupakan suatu fenomena sosial yangkerap terjadi khususnya di Indonesia. Fenomena
pernikahan anak di bawahumur bila diibaratkan seperti fenomena gunung
es, sedikit di permukaan atauyang terekspos
dan sangat marak di dasar atau di tengah masyarakat luas.Dalih utama yang
digunakan untuk memuluskan jalan melakukan pernikahandengan anak di
bawah umur adalah mengikuti sunnah Nabi SAW. Namun, dalihseperti ini bisa jadi bermasalah karena masih
terdapat banyak pertentangandi kalangan umat muslim tentang kesahihan
informasi mengenai pernikahan dibawah umur
yang dilakukan Nabi SAW dengan ‘Aisyah r.a. . Selain ituperaturan
perundang-undangan yang berlaku di Indonesia dengan sangat jelasmenentang
keberadaan pernikahan anak di bawah umur. Jadi tidak ada alasanlagi bagi pihak-pihak tertentu untuk melegalkan
tindakan mereka yangberkaitan dengan
pernikahan anak di bawah umur.Pemerintah harus berkomitmen serius dalam
menegakkan hukum yangberlaku terkait
pernikahan anak di bawah umur sehingga pihak-pihak yangingin melakukan
pernikahan dengan anak di bawah umur berpikir dua kaliterlebih dahulu
sebelum melakukannya. Selain itu, pemerintah harus semakingiat mensosialisasikan UU terkait pernikahan anak
di bawah umur besertasanksi-sanksinya bila melakukan pelanggaran dan
menjelaskan resiko-resiko
12
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Anak sebagai generasi muda,
merupakan potensi dan penerus cita-cita perjuangan bangsa. Anak merupakan modal
pembangunan yang akan mempertahankan, memelihara dan mengembangkan hasil
pembangunan yang ada. Oleh karena itu, anak memerlukan perlindungan dalam
rangka menjamin pertumbuhan dan perkembangan fisik, mental dan sosial secara
utuh, serasi dan seimbang. Kedudukan anak dalam hukum adalah sebagai subyek
hukum ditentukan dari bentuk dan sistem terhadap anak sebagai kelompok
masyarakat dan tergolong tidak mampu atau di bawah umur (UU No. 23 Tahun 2002).
Dalam Hukum Positif Indonesia,
mengatur tentang perkawinan yang tertuang di dalam UU No.1 Tahun 1974
menyatakan bahwa “Perkawinan adalah ikatan lahir batin antara seorang pria
dengan sesorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga
(Rumah Tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa”.
Bagi perkawinan tersebut tentu harus
dapat diperbolehkan bagi mereka yang telah memenuhi batasan usia untuk
melangsungkan perkawinan seperti dalam Pasal 7 ayat 1 UU No.1 Tahun 1974 yang
tertera bahwa, batasan usia untuk melangsungkan perkawinan itu pria sudah
berusia 19 (Sembilan belas) Tahun dan wanita sudah mencapai usia 16 (Enam
belas) Tahun. Secara eksplisit ketentuan tersebut dijelaskan bahwa setiap
perkawinan yang dilakukan oleh calon pengantin prianya yang belum berusia 19
tahun atau wanitanya belum berusia 16 tahun disebut sebagai “Perkawinan di
bawah umur”. Bagi perkawinan di bawah umur ini yang belum memenuhi batas usia
perkawinan, pada hakikatnya di sebut masih berusia muda (anak-anak) yang ditegaskan
dalam Pasal 81 ayat 2 UU No.23 Tahun 2002, “Bahwa anak adalah seseorang yang
belum berusia 18 (delapan belas) tahun dikategorikan masih anak-anak, juga
termasuk anak yang masih dalam kandungan, apabila melangsungkan perkawinan
tegas dikatakan adalah perkawinan di bawah umur.
Dan itu merupakan pemangkasan
kebebasan hak anak dalam memperoleh Hak hidup sebagai remaja yang berpotensi
untuk tumbuh, berkembang dan berpotensi secara positif sesuai apa yang digaris
bawahi agama. Jika anak masih berusia muda bisa dikatakan kekerasan dan
diskriminasi terhadap anak-anak seperti yang telah dijelaskan Pasal 81 ayat 2
UU No.23 Tahun 2002. Dimana jelas bagi orang tua berkewajiban untuk mencegah
adanya perkawinan pada usia muda.
Tetapi perkawinan di bawah umur
merupakan peristiwa yang dianggap wajar dalam suatu masyarakat Indonesia, namun
perkawinan di bawah umur bisa menjadi isu yang menarik perhatian publik dan
berlanjut menjadi kasus hukum seperti terlihat dalam kasus perkawinan Syekh
Puji dengan Lutviana ulfa (yang berusia 12 tahun), di mana muncul kontroversi
terhadap kasus perkawinan di bawah umur ini.
B. Rumusan Masalah
1.
Bagaimana
hukum perkawinan di bawah umur berdasarkan peraturan perundang-undangan yang
berlaku di Indonesia?
2.
Bagaimana
hukum perkawinan anak di bawah umur menurut pandangan Islam?
3.
Bagaimana
hukum perkawinan di bawah umur menurut pandangan Hukum Adat?
4.
Apa sajakah
dampak yang ditimbulkan dari perkawinan di bawah umur?
5.
Bagaimana
upaya mencegah terjadinya perkawinan di bawah umur?
BAB II
PEMBAHASAN
Indonesia merupakan Negara Hukum, dimana warga
Indonesia harus mematuhi aturan-aturan yang telah dibuat oleh yang berwenang.
Di sinilah terdapat beberapa penilaian dari faktor hukum, adat, adanya dampak
terjadinya perkawinan di bawah umur dan upaya mencegah terjadinya Perkawinan di
bawah umur.
1.
Hukum
Perkawinan Di Bawah Umur Menurut Peraturan Perundang-undangan yang Berlaku Di
Indonesia
Berdasarkan UU No. 1 tahun 1974 tentang perkawinan. UU
ini menjelaskan syarat-syarat yang wajib dipenuhi calon mempelai sebelum
melangsungkan pernikahan, menurut Pasal 6 ayat 1 UU no.1 tahun 1974 :
perkawinan harus didasarkan atas persetujuan kedua calon mempelai, Pasal 6 ayat
2 UU No.1 Tahun 1974 : untuk melangsungkan perkawinan seseorang yang belum
mencapai umur 21 (duapuluh satu) tahun harus mendapat ijin kedua orang
tua, Pasal 7 UU No.1 Tahun 1974 : perkawinan hanya diijinkan jika pihak pria
sudah mencapai umur 19 tahun dan pihak wanita sudah mencapai umur 16 tahun.
Sedangkan menurut negara pembatasan umur minimal untuk
kawin bagi warga negara pada prinsipnya dimaksudkan agar orang yang akan
menikah diharapkan sudah memiliki kematangan berpikir, kematangan jiwa dan
kekuatan fisik yang memadai. Keuntungan lainnya yang diperoleh adalah
kemungkinan keretakan rumah tangga yang berakhir dengan perceraian dapat
dihindari, karena pasangan tersebut memiliki kesadaran dan pengertian yang
lebih matang mengenai tujuan perkawinan yang menekankan pada aspek kebahagiaan
lahir dan batin.
Selain itu juga Berdasarkan UU No. 23 tahun 2002
mencegah adanya perkawinan pasa usia anak-anak yaitu dimana dalam Pasal 1
tentang perlindungan anak, definisi anak adalah seseorang yang belum berusia 18
tahun, termasuk anak yang masih dalam kandungan. Setiap anak mempunyai hak dan
kewajiban seperti yang tertuang dalam Pasal 4 UU No. 23 tahun 2002 : setiap
anak berhak untuk dapat hidup, tumbuh, berkembang, dan berpartisipasi secara
wajar sesuai dengan harkat dan martabat kemanusiaan, serta mendapat
perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi, Pasal 9 ayat 1 UU No.23 Tahun
2002 : Setiap anak berhak memperoleh pendidikan dan pengajaran dalam rangka
pengembangan pribadinya dan tingkat kecerdasannya sesuai dengan minat dan
bakatnya, Pasal 11 UU No.23 Tahun 2002: setiap anak berhak untuk beristirahat
dan memanfaatkan waktu luang, bergaul dengan anak yang sebaya, bermain,
berekreasi sesuai dengan minat, bakat, dan tingkat kecerdasannya demi
pengembangan diri, Pasal 13 ayat 1 UU No.23 Tahun 2002 : setiap anak selama
dalam pengasuhan orang tua, wali, atau pihak lain manapun yang bertanggung
jawab atas pengasuhan, berhak mendapat perlindungan dari perlakuan :
a)
diskriminasi
b)
eksploitasi,
baik ekonomi maupun seksual
c)
penelantaran
d)
kekejaman,
kekerasan, dan penganiayaan
e)
ketidakadilan
f)
perlakuan
salah lainnya.
Selain itu orang tua dan keluarganya
mempunyai kewajiban dan tanggung jawab terhadap anak seperti yang tertulis di
Pasal 26 ayat 1 UU no. 23 tahun 2002 : orang tua berkewajiban dan bertanggung
jawab untuk :
a)
mengasuh,
memelihara, mendidik, dan melindungi anak
b)
menumbuhkembangkan
anak sesuai dengan kemampuan, bakat, dan minatnya
c)
mencegah
terjadinya perkawinan pada usia anak-anak.
2.
Hukum
Perkawinan Di Bawah Umur Menurut Pandangan Hukum Islam
Sebagai muslim, merupakan kewajiban untuk merujuk
sumber utama dari ajaran Islam, yakni Al-Qur’an. Apakah Al-Qur’an mengizinkan
atau melarang perkawinan di bawah umur? Perkawinan adalah suatu aqad yang
sangat kuat (misaqan ghalizan) untuk menaati perintah Allah swt dan
melaksanakannya merupakan suatu ibadah. Yang bertujuan untuk mewujudkan rumah
tangga yang sakinah mawaddah wa rahmah. Dan hukumnya dapat berubah sesuai
berubahnya “illah”, ayaitu dapat sunnah, makruh, haram dan wajib.
Sebagaimana terlihat dalam Hadist berikut “ ……
sedangkan aku menikah, maka barangsiapa tidak suka sunnah (petunjukku), maka
bukan dari golonganku”. Perintah dan anjuran melakukan pernikahan, tidak
memberikan batasan umur, namun ditekankan perlunya kedewasaan seseorang
melakukan pernikahan untuk mencegah kemudharatan (hal-hal buruk). Sehingga
kedewasaan secara psikologis dan biologis secara implicit di anjurkan melalui
beberapa Hadist dan yang tertera dalam ayat Al-Qur’an. Namun, muncul
kontroversi menyangkut batasan kedewasaan seseorang untuk boleh menikah, yang
berimplikasi terhadap tidak ada keberatan atas pernikahan di bawah umur dari
pandangan Islam.
3.
Hukum
Perkawinan Di Bawah Umur Menurut Pandangan Hukum Adat
Hukum adat tidak menentukan batasan umur tertentu bagi
orang untuk melaksanakan perkawinan. Bahkan hukum adat membolehkan perkawinan
anak-anak yang dilaksanakan ketika anak masih berusia kanak-kanak. Hal ini
dapat terjadi karena di dalam Hukum Adat perkawinan bukan saja merupakan
persatuan kedua belah mempelai tetapi juga merupakan persatuan dua buah
keluarga kerabat. Adanya perkawinan di bawah umur atau perkawinan kanan-kanak
tidak menjadi masalah di dalam Hukum Adat karena kedua suami isteri itu akan
tetap dibimbing oleh keluarganya, yang dalam hal ini telah menjadi dua
keluarga, sehingga Hukum Adat tidak melarang perkawinan kanak-kanak.
4.
Dampak
Terjadinya Perkawinan Di Bawah Umur
Apapun alasannya, perkawinan tersebut dari tinjauan
berbagai aspek sangat merugikan kepentingan anak dan sangat membahayakan
kesehatan anak akibat dampak perkawinan dini atau perkawinan di bawah umur.
Berbagai dampak pernikahan dini atau perkawinan dibawah umur dapat dikemukakan
sbb.
Adanya pelanggaran terhadap 3
Undang-undang di negara kita yaitu:
a. UU No. 1 tahun
1974 tentang Perkawinan
- Pasal 7
(1) UU No.1 Tahun 1974 : Perkawinan hanya diizinkan jika pihak pria sudah
mencapai umur 19 tahun dan pihak wanita sudah mencapai umur 16 tahun.
- Pasal 6
(2) UU No.1 Tahun 1974 : Untuk melangsungkan perkawinan seorang yang belum
mencapai umur 21 tahun harus mendapat izin kedua orang tua.
b.
UU No. 23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, Pasal 26
(1) Orang tua berkewajiban dan bertanggung jawab untuk:
- mengasuh,
memelihara, mendidik dan melindungi anak
- menumbuh
kembangkan anak sesuai dengan kemampuan, bakat dan minatnya dan
- mencegah
terjadinya perkawinan pada usia anak-anak.
Anak secara biologis alat-alat reproduksinya masih
dalam proses menuju kematangan sehingga belum siap untuk melakukan hubungan
seks dengan lawan jenisnya, apalagi jika sampai hamil kemudian melahirkan. Jika
dipaksakan justru akan terjadi trauma, perobekan yang luas dan infeksi yang
akan membahayakan organ reproduksinya sampai membahayakan jiwa anak. Patut
dipertanyakan apakah hubungan seks yang demikian atas dasar kesetaraan dalam
hak reproduksi antara isteri dan suami atau adanya kekerasan seksual dan
pemaksaan (penggagahan) terhadap seorang anak.
Secara psikis anak juga belum siap dan mengerti
tentang hubungan seks, sehingga akan menimbulkan trauma psikis berkepanjangan
dalam jiwa anak yang sulit disembuhkan. Anak akan murung dan menyesali hidupnya
yang berakhir pada perkawinan yang dia sendiri tidak mengerti atas putusan
hidupnya. Selain itu, ikatan perkawinan akan menghilangkan hak anak untuk
memperoleh pendidikan (Wajar 9 tahun), hak bermain dan menikmati waktu luangnya
serta hak-hak lainnya yang melekat dalam diri anak.
Fenomena sosial ini berkaitan dengan faktor sosial
budaya dalam masyarakat patriarki yang bias gender, yang menempatkan perempuan
pada posisi yang rendah dan hanya dianggap pelengkap seks laki-laki saja.
Kondisi ini sangat bertentangan dengan ajaran agama apapun termasuk agama Islam
yang sangat menghormati perempuan (Rahmatan lil Alamin). Kondisi ini hanya akan
melestarikan budaya patriarki yang bias gender yang akan melahirkan kekerasan
terhadap perempuan.
- Dampak
perilaku seksual menyimpang
Adanya prilaku seksual yang menyimpang yaitu prilaku
yang gemar berhubungan seks dengan anak-anak yang dikenal dengan istilah
pedofilia. Perbuatan ini jelas merupakan tindakan ilegal (menggunakan seks
anak), namun dikemas dengan perkawinan se-akan2 menjadi legal. Hal ini
bertentangan dengan UU.No.23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak khususnya
pasal 81, ancamannya pidana penjara maksimum 15 tahun, minimum 3 tahun dan
pidana denda maksimum 300 juta dan minimum 60 juta rupiah. Apabila tidak
diambil tindakan hukum terhadap orang yang menggunakan seksualitas anak secara
ilegal akan menyebabkan tidak ada efek jera dari pelaku bahkan akan menjadi
contoh bagi yang lain.
Para sarjana/ahli hukum berpendapat faktor- faktor
yang mempengaruhi terjadinya perkawinan dalam usia muda :
- Menurut
RT. Akhmad Jayadiningrat, sebab-sebab utama dari perkawinan usia muda
adalah:
a)
Keinginan
untuk segera mendapatkan tambahan anggota keluarga
b)
Tidak adanya
pengertian mengenai akibat buruk perkawinan terlalu muda, baik bagi mempelai
itu sendiri maupun keturunannya.
c)
Sifat kolot
orang jawa yang tidak mau menyimpang dari ketentuan adat. Kebanyakan orang desa
mengatakan bahwa mereka itu mengawinkan anaknya begitu muda hanya karena
mengikuti adat kebiasaan saja.
- Terjadinya
perkawinan usia muda menurut Hollean dalam Suryono disebabkan oleh:
a)
Masalah
ekonomi keluarga.
b)
Orang tua
dari gadis meminta masyarakat kepada keluarga laki-laki apabila mau mengawinkan
anak gadisnya.
c)
Bahwa dengan
adanya perkawinan anak-anak tersebut, maka dalam keluarga gadis akan berkurang
satu anggota keluarganya yang menjadi tanggung jawab (makanan, pakaian,
pendidikan, dan sebagainya).
Selain menurut para sarjana/ahli hukum di atas, ada beberapa
faktor yang mendorong terjadinya perkawinan usia muda yang sering dijumpai di
lingkungan masyarakat kita yaitu :
a. Ekonomi
Perkawinan usia muda terjadi karena keadaan keluarga
yang hidup di garis kemiskinan, untuk meringankan beban orang tuanya maka anak
wanitanya dikawinkan dengan orang yang dianggap mampu.
b. Pendidikan
Rendahnya tingkat pendidikan maupun pengetahuan orang
tua, anak dan masyarakat, menyebabkan adanya kecenderungan mengawinkan anaknya
yang masih dibawah umur.
c. Faktor orang
tua
Orang tua khawatir kena aib karena anak perempuannya
berpacaran dengan laki-laki yang sangat lengket sehingga segera mengawinkan
anaknya.
d. Media massa
Gencarnya ekspose seks di media massa menyebabkan
remaja modern kian Permisif terhadap seks.
e. Faktor adat
Perkawinan usia muda terjadi karena orang tuanya takut
anaknya dikatakan perawan tua sehingga segera dikawinkan.
5. Upaya Mencegah
Terjadinya Perkawinan Di Bawah Umur
Pasal 288 KUHP telah
menyebutkan bahwa batrang siapa dalam perkawinan bersetubuh dengan seorang wanita yang diketahui atau sepatutnya harus
diduganya bahwa yang bersangkutan belum waktunya dikawini, apabila
mengakibatkan luka-luka berat diancam paling lama empat tahun, jika
mengakibatkan luka-luka berat diancam pidana penjara paling lama delapan tahun
dan jika mengakibatkan mati diancam pidana paling lama dua belas tahun.
Namun perlu deketahui bahwa
masalah perkawinan adalah masalah perdata. Kalaaupun terjadi tindak pidana
dalam perkawinan seperti disebut pasal 288 KUHP, sering kali penylesaiannya secara perdata
atau tidak diselesaikan sekali. Sebab, terkait dengan rahasia ataupun
kehormatan rumah tangga. Seringkali pihak istri atau keluarganya tidak
melaporkan kekerasan tersebut entah karena alasan takut, aib kluarga, atau
kesulitan dalam dalam menghadirkan alat bukti. Langkah paling maju yang dapat
dilakukan untuk menekan laju pernikahan dibawah umur adalah dengan mencegah
atau membatalkan perkawinan jenis tersebut. Namun sekali lagi, perlu ada
keberatan dari salah satu mempelai, keluarga, ataupun pejabat pengawas
perkawinan. Apabilah pasangan mempelai dan juga keluarga tak keberatan maka
tindakan yang paling mungkin dilakukan adalah tidak mencatatkan pernikahanya
dihadapan Kantor Pencatat Nikah (KUA atau Kantor Catatan Sipil). Otomatis
pernikahan yang tidak tercatat dilembaga pencatat nikah adalah pernikahan yang
tidak berkekuatan hukum, kendati barangkali dapat disebut sah menurut keyakinan
agama masing-masing pasangan. Pasal 20 dan 21 UU No. 1 tahun 1974 cukup tegas
dalam masalah ini. Disebutkan bahwa pegawai pencatat tidak diperbolehkan
melangsungkan atau membantu melangsungkan perkawinan bila ia mengetahui antara
lain adanya pelanggaran dari ketentuan batas umur minimum pernikahan. Namun
perkawinan yang tak dicatatkan juga
bukan tanpa resiko. Yang mengalami kerugian utama adalah pihak istri dan
anak-anak yang dilahirkannya. Karena, apabila ia tak memiliki dokumen
pernikahannya, seperti suran nikah, maka ia akan kesulitan mengklaim hak-haknya
selaku istri terkait dengan masalah perceraian, kewarisan, tunjangan kluarga,
dan lain-lain.
Jadi, upayah pencegahan
pernikahan dibawah umur dirasa akan semakin maksimal bila angota masyarakat
turt serta berperan aktif dalam upaya pencegahan pernikahan anak dibawah umur.
Sinergi antara pemerintah dan msyarakat merupakan langkah terbaik yang
diharapkan untuk mencegah atau meminimalisir pernikahan anak dibawah umur.
Control sosial masyarakat sangat diharapkan untuk hal ini, sehingag ke depanya
anak-anak negeri ini tidak lagi menjadi korban pernikahan usia muda,tetapi
memiliki masa depan yang cerah untuk mraik cita-citanya.
BAB III
KESIMPULAN DAN SARAN
Pernikahan merupakan suatu perbuatan
yang sangat sakral. Untuk menjaga kesakralan tersebut hendaknya pernikahan dilakukan
dengan sebaik-baiknya dan sesuai dengan peraturan yang berlaku baik peraturan
agama maupun peraturan negara tempat berlangsungnya pernikahan tersebut.
Pernikahan anak di bawah umur masih
menjadi kontroversi di tengah masyarakat. Hal ini dapat terjadi karena adanya
perbedaan pandangan diantara pihak-pihak terkait dalam hal menyikapi pernikahan
anak di bawah umur. Pemerintah sebagai pemegang kekuasaan tertinggi di negara
Indonesia diharapkan bisa menjadi penengah diantara pihak-pihak yang berselisih
dan mampu menegakkan regulasi terkait pernikahan anak di bawah umur. Sinergi
antara dua belah pihak yaitu pemerintah dan masyarakat merupakan jalan keluar
terbaik yang bisa diambil sementara ini agar pernikahan anak di bawah umur bisa
dicegah dan ditekan seminimal mungkin keberadaannya di tengah masyarakat.
DAFTAR PUSTAKA
Soedharyo
Soimin, SH, Hukum Orang dan Keluarga, Sinar Grafika, Jakarta, 1992
Drs. M.
Thahir Hi. Salim, MH, Bahan Ajar Hukum Perdata, 2009
Kitab
Undang-undang Hukum Perdata
Undang-Undang No.1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan