BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Pada mulanya riba merupakan
suatu tradisi bangsa Arab pada jual beli maupun pinjaman dimana pembeli atau
penjual, yang meminjam atau yang memeberi pinjaman suatu barang atau jasa
dipungut atau memungut nilai yang jauh lebih dari semula, yakni tambahan
(persenan) yang dirasakan memberatkan.
Namun
setelah Islam datang, maka tradisi atau praktek seperti ini tidak lagi
diperbolehkan, dimana oleh Allah SWT menegaskan dengan mengharamkannya dalam
Al-Qur’an (baca ; ayat dan hadist yang melarang riba), bahkan oleh Allah dan
RasulNya akan memusuhi dan memeranginya apabila tetap melanggarnya, yang
demikian itu dimaksudkan untuk kemaslahatan dan juga kebaikan umat manusia
Sistem bunga
yang diterapkan dalam perbankan konvensional telah mengganggu hati nurani umat
Islam di dunia tanpa kecuali umat Islam di Indonesia. Bunga uang dalam fiqih
dikategorikan sebagai riba yang demikian merupakan sesuatu yang dilarang
oleh syariah ( haram ). Alasan mendasar inilah yang melatarbelakangi
lahirnya lembaga keuangan bebas bunga, salah satunya adalah Bank Syariah.
B. Rumusan Masalah
1.
Apakah pengertian bunga bank?
2. Apa
perbedaan bunga bank dengan riba?
3.
Bagaimana Al-Qur’an dan Hadits memandang riba?
C. Maksud dan Tujuan
1. Untuk mengetahui Pengertian riba dan perbedaannya dengan bunga bank
2. Dapat mengetahuiJenis
atau macam-macam bunga bank
3. Mampu memahami Ayat dan
Hadist yang melarang riba
BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Pengertian Bunga Bank
Bunga bank sendiri dapat
diartikan berupa ketetapan nilai mata uang oleh bank yang memiliki
tempo/tenggang waktu, untuk kemudian pihak bank memberikan kepada pemiliknya
atau menarik dari si peminjam sejumlah bunga (tambahan) tetap sebesar beberapa
persen, seperti lima atau sepuluh persen.
Dengan kata lain bunga bank
adalah sebuah system yang diterapkan oleh bank-bank konvensional (non
Islam) sebagai suatu lembaga keuangan yangmana fungsi utamanya menghimpun dana
untuk kemudian disalurkan kepada yang memerlukan dana (pendanaan), baik perorangan
maupun badan usaha, yang berguna untuk investasi produktif dan lain-lain.
Bunga bank ini termasuk
riba, sehingga bunga bank juga diharamkan dalam ajaran Islam. Bedanya riba
dengan bunga/rente (bank) yakni riba adalah untuk pinjaman yang bersifat konsumtif,
sedangkan bunga/rente (bank) adalah untuk pinjaman yang bersifat produktif.
Namun demikian, pada hakikatnya baik riba, bunga/rente atau semacamnya sama
saja prakteknya, dan juga memberatkan bagi peminjam.
Maka dari itu solusinya
adalah dengan mendirikan bank Islam. Yaitu sebuah lembaga keuangan yang dalam
menjalankan operasionalnya menurut atau berdasarkan syari’at dan hukum Islam.
Sudah barang tentu bank Islam tidak memakai system bunga, sebagaimana yang
digunakan bank konvensional. Sebab system atau cara seperti itu dilarang
oleh Islam.
Sebagai pengganti system
bunga tersebut, maka bank Islam menggunakan berbagai macam cara yang tentunya
bersih dan terhindar dari hal-hal yang mengandung unsur riba. Diantaranya
adalah sebagai berikut:
2.2 Unsur-unsur yang terhindar dari riba
1
Wadiah (titipan uang, barang, dan surat berharga atau deposito). Bisa
diterapkan oleh bank Islam dalam operasionalnya menghimpun dana dari
masyarakat, dengan cara menerima deposito berupa uang, barang dan surat-surat
berharga sebagai amanah yang wajib dijaga keselamatannya oleh bank Islam. Bank
berhak menggunakan dana yang didepositokan itu tanpa harus membayar imbalannya
tetapi bank harus menjamin bisa mengembalikan dana itu kepada waktu pemiliknya
membutuhkan
2
Mudharabah (kerja sama antara pemilik modal dengan pelaksana atas dasar
perjanjian profit and loss sharing).dengan cara ini, bank Islam dapat
memberikan tambahan modal kepada pengusaha untuk perusahaannya baik besar
maupun kecil dengan perjanjian bagi hasil dan rugi yang perbandingannya sama
sesuai dengan perjanjian, misalnya fifty-fifty. Dalam mudharabah ini,
bank tidak mencapuri manajeman perusahaan.
3
Musyarakah/
syirkah (persekutuhan). Di bawah kerja sama cara ini,
pihak bank dan pihak perngusaha mempunyai peranan (saham) pada usaha patungan (joint
venture.) karena itu, kedua belah pihak berpartisipasi mengelola usaha
patungan ini dan menanggung untung ruginya bersama atas dasar perjanjian
tersebut.
4
Murabahah (jual beli barang dengan tambahan harga atau cost plus atas dasar
harga pembelian yang pertama secara jujur). Dengan cara ini, orang pada
hakikatnya ingin merubah bentuk bisnisnya dari kegiatan pinjam meminjam menjadi
transaksi jual beli (lending activity menjadi sale and purchase transaction).
Dengan system ini, bank bias membelikan/menyediakan barang-barang yang
diperlukan oleh pengusaha untuk dijual lagi, dan bank minta tambahan harga (cost
plus) atas harga pembelinya. Syarat bisnis dengan murabahah ini
ialah si pemilik barang dalam hal ini bank harus memberi informasi yang
sebenarnya kepada pembeli tentang harga pembeliannya dan keuntungan bersihnya (profit
margin) daripada cost plus-nya itu.
5
Qargh
Hasan (pinjaman yang baik atau bernevolent loan).
Bank Islam dapat memberikan pinjaman tanpa bunga (benevolent loan)
kepada para nasabah yang baik, terutama nasabah yang punya deposito di bank
Islam itu sebagai salah satu service dan penghargaan bank kepada para
deposan, karena deposan tidak menerima bunga atas depositonya dari bank Islam.
6
Bank Islam
juga dapat menggunakan modalnya dan dana yang terkumpul untuk investasi
langsung dalam berbagai bidang usaha yang profitable. Dalam hal ini, bank
sendiri yang melakukan manajemennya secara langsung, berbeda dengan investasi
patungan, maka manajemennya dilakukan oleh bank bersama partner usahanya dengan
perjanjian profit and loss sharing.
7
Bank Islam
boleh pula mengelola zakat di Negara yang pemerintahnya tidak mengelola zakat
secara langsung. Dan bank juga dapat menggunakan sebagian zakat yang terkumpul
untuk proyek-proyek yang produktif, yang hasilnya untuk kepentingan agama dan
umum.
8
Bank Islam
juga boleh memungut dan menerima pembayaran untuk :
1.
Mengganti
biaya-biaya yang langsung dikeluarkan oleh bank dalam melaksanakan pekerjaan
untuk kepetingan nasabah, misalnya biaya telegram, telpon, telex dalam
memindahkan atau memberitahukan rekening nasabah dan sebagainya.
2.
Membayar gaji
para karyawan bank yang melakukan pekerjaan untuk kepentingan nasabah, dan
untuk sarana dan prasarana yang disediakan oleh bank, dan biaya administrasi
pada umumnya.
2.3. Pendapat Yang Mengatakan Bunga
Bank Bukan Riba
Segelintir Ulama di negara-negara
Timur Tengah dan beberapa orang pakar ekonomi di negara sekuler, berpendapat
bahwa riba tidaklah sama dengan bunga bank. Seperti Mufti Mesir Dr. Sayid
Thantawi, yang berfatwa tentang bolehnya sertifikat obligasi yang dikeluarkan
Bank Nasional Mesir yang secara total masih menggunakan sistem bunga, dan ahli
lain seperti Dr. Ibrahim Abdullah an-Nashir. Doktor Ibrahim dalam buku Sikap
Syariah Islam terhadap Perbankan mengatakan, “Perkataan yang benar bahwa tidak
mungkin ada kekuatan Islam tanpa ditopang dengan kekuatan perekonomian, dan
tidak ada kekuatan perekonomian tanpa ditopang perbankan, sedangkan tidak ada
perbankan tanpa riba. Ia juga mengatakan, “Sistem ekonomi perbankan ini
memiliki perbedaan yang jelas dengan amal-amal ribawi yang dilarang Al-Qur’an
yang Mulia. Karena bunga bank adalah muamalah baru, yang hukumnya tidak tunduk
terhadap nash-nash yang pasti yang terdapat dalam Al-Qur’an tentang pengharaman
riba.”
Di Indonesia, pendapat yang
mengemuka adalah pendapat pakar ekonomi yang juga mantan Menteri Keuangan dan
Gubernur Bank Indonesia, Syafruddin Prawiranegara. Dalam bukunya Benarkah Bunga
Bank Riba (1993) yang diterbitkan penerbit Ramadhan, Syafruddin berkata, “Jika
bunga, walaupun dalam bentuk yang masuk akal atau ringan, tidak dibolehkan bagi
pedagang muslim, maka larangan ini akan menempatkannya pada suatu posisi yang
sangat kaku, janggal, dan tidak menguntungkan apabila dihadapkan kepada
lawannya dari Barat dan Timur Tengah. Hal ini akan memaksa dia untuk mengikuti
cara-cara yang dibuat-buat dalam melakukan transaksi atau memberikan nama
lainnya kepada bunga seperti ongkos administrasi, hanya untuk menghindari kata
riba.”
Pada halaman 43 Syafruddin berkata
“…riba adalah semua bentuk keuntungan yang berlebih-lebihan yang didapat lewat
pekerjaan yang salah. Bunga yang bersifat komersial dan normal diizinkan dalam
Islam.” Selanjutnya pada halaman 36, ia berkata, “Mengenai Al-Qur’an dan
Sunnah, saya tidak mendapati satu ayat pun dari Al-Qur’an atau hadits Nabi
Muhammad yang dapat menyalahkan tafsir saya tentang riba.
Mohamad Hatta berpendapat, bunga
bank untuk kepentingan produktif bukanlah riba, tetapi untuk kepentingan
konsumtif riba. Mr. Kasman Singodimedjo berpendapat, sistem perbankan modern
diperbolehkan karena tidak mengandung unsur eksploitasi yang dzalim, oleh
karenanya tidak perlu didirikan bank tanpa bunga. A.Hasan Bangil, tokoh
Persatuan Islam (PERSIS), secara tegas menyatakan bunga bank itu halal karena
tidak ada unsur lipat gandanya. Prof.Dr.Nurcholish Madjid berpendapat bahwa
riba di mengandung unsur eksploitasi satu pihak kepada pihak lain, sementara
dalam perbankan (konvensional) tidaklah seperti itu. Dr.Alwi Shihab dalam
wawancaranya dengan Metro TV sekitar tahun 2004 lalu, juga berpendapat bunga
bank bukanlah riba.
2.4 Pendapat
Yang Mengatakan Bunga Bank Adalah Riba
Umer Chapra mengutip Ibnu Manzur
dalam kitabnya Lisan al-Arab, mengatakan bahwa pengertian riba secara harfiah
berarti peningkatan, pertambahan, perluasan, atau pertumbuhan. Tetapi tidak
semua peningkatan atau pertumbuhan terlarang dalam Islam. Keuntungan juga
menyebabkan peningkatan atas jumlah pokok, tetapi hal ini tidaklah
dilarang.[15] Maka apa yang sebenarnya diharamkan?
Pribadi yang sangat tepat untuk
menjawab pertanyaan itu adalah Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam. Beliau
melarang mengambil hadiah, jasa, atau pertolongan sekecil apapun sebagai syarat
atas suatu pinjaman. Dalam hadits riwayat Imam Bukhari, Rasulullah bersabda,
“Jika seseorang memberikan pinjaman kepada seseorang lainnya, dia tidak boleh
menerima hadiah.” Dalam hadits riwayat Imam Baihaqi, Rasulullah bersabda,
“Ketika seseorang memberikan pinjaman kepada orang lain dan peminjam
memberikannya makanan atau tumpangan hewan, dia tidak boleh menerimanya kecuali
keduanya terbiasa saling memberikan pertolongan.” Jawaban Rasulullah ini
menyamakan riba dengan apa yang lazim dipahami sebagai bunga (bunga bank).[16]
Jumhur (mayoritas/kebanyakan) Ulama’
sepakat bahwa bunga bank adalah riba, oleh karena itulah hukumnya haram.
Pertemuan 150 Ulama’ terkemuka dalam konferensi Penelitian Islam di bulan
Muharram 1385 H, atau Mei 1965 di Kairo, Mesir menyepakati secara aklamasi
bahwa segala keuntungan atas berbagai macam pinjaman semua merupakan praktek
riba yang diharamkan termasuk bunga bank.[17] Berbagai forum ulama
internasional yang juga mengeluarkan fatwa pengharaman bunga bank, yaitu:
1. Majma’al Fiqh al-Islamy, Negara-negara OKI yang
diselenggarakan di Jeddah pada tanggal 10-16 Rabi’ul Awal 1406 H/22 Desember
1985;
2. Majma’ Fiqh Rabithah al’Alam al-Islamy, Keputusan 6
Sidang IX yang diselenggarakan di Makkah, 12-19 Rajab 1406 H;
3. Keputusan Dar It-Itfa, Kerajaan Saudi Arabia, 1979;
4. Keputusan Supreme Shariah Court, Pakistan, 22
Desember 1999;
5. Majma’ul Buhuts al-Islamyyah, di Al-Azhar, Mesir,
1965.
Walaupun Indonesia termasuk Negara dengan penduduk
mayoritas muslim yang terlambat mempromosikan gagasan perbankan Islam,[18]
namun Majelis Ulama Indonesia (”MUI”) melalui Keputusan Fatwa Nomor 1 Tahun
2004 tentang Bunga (Interest/Fa’idah) berpendapat:
1. Praktek pembungaan uang saat ini telah memenuhi
kriteria riba yang terjadi pada zaman Rasulullah, yaitu Riba Nasi’ah. Dengan
demikian, praktek pembungaan uang ini termasuk salah satu bentuk Riba, dan Riba
Haram Hukumnya;
2. Praktek Penggunaan tersebut hukumnya adalah haram,
baik di lakukan oleh Bank, Asuransi, Pasar Modal, Pegadaian, Koperasi, dan
Lembaga Keuangan lainnya maupun dilakukan oleh individu.
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Metode
istinbat hukum bayani yang ditempuh oleh jumhur ulama telah menghasilkan
hukum haramnya bunga bank. Namun pada saat yang sama tampak bahwa mereka telah mengabaikan
beberapa kaidah dalam metode tersebut yang jika diterapkan, justru memberikan
hasil istinbat yang sebaliknya. Di antaranya adalah kaidah kebahasaan (al-qa
’idah allughawiyah) yang berkenaan dengan takhsis al- ‘amm dan mutlaq
muqayyad. Akan tetapi penekanan mereka yang berlebihan pada makna tersuqat
(mafhum) dari Q.S. 2: 279 yang menyatakan bahwa hanya harta pokok
yang boleh dipungut dari debitur, membuat mereka tidak bisa bergeming dari
pandangan bahwa bunga ekuivalen dengan riba. Karakter metode istinbat
bayani yang cenderung hanya memperhatikan makna teks dari uspek kebahasaan
dan mengabaikan background sosial historis ketika suatu ayat
diturunkan tentu saja ikut bertanggung jawab dalam membentuk opini mereka
ini.
Secara umum Ulama membagi riba itu menjadi dua macam saja, yaitu riba
nasi’ah’ danriba fadil, sedangkan riba yad dan Riba qardi termasuk
ke dalam riba nasi’ah danriba fadhl. Barang-barang yang berlaku
riba padanya ialah emas,perak, dan makanan yang mengeyangkan atau yang berguna
untuk yang mengenyangkan, misalnya garam. Jual beli barang tersebut, kalau sama
jenisnya seperti emas dan dengan emas, gadum dengan gadum, diperlukan tiga
syarat: (1) tunai, (2) serah terima, dan (3) sama timbangannya. Kalau jenisnya
berlianan, tetapi ‘ilat ribanya satu, seperti emas dengan perak, boleh
tidak sama tibangannya, tetapi mesti tunai dan timbang terima. Kalau jenis dan ‘ilat
ribanya berlainan seperti perak dengan beras, boleh dijial bagaimana saja
seperti barang-barang yang lain; berarti tidak diperlukan suatu syarat dari
yang tiga itu.
Riba (termasuk bunga bank)
adalah termasuk dosa besar. Baik pemberi, penulis dan dua saksi riba adalah
sama dalam dosa dan maksiat denganpemakan riba. Tidak boleh bagi seorang Muslim
mengokohkan transaksi riba. Dianjurkan (bahkan wajib) bagi kaum Muslimin untuk
mendirikan bank Islam sesuai dengan syari’at agama, dan menghindarkan dari
segala macam bentuk/praktek riba
DAFTAR
PUSTAKA
1 Maulana Muhammad Ali, The Religion of Islam, Lahore, The
Ahmadiyah Anjuman Isha’at Islam, 1950, hlm. 721.
7 Pendapat Abu Zahrah, Guru Besar pada Fakultas Hukum Universitas Cairo,
juga Abul A’la al-Maududi (Pakistan), Muhammad Abdullah al-‘Arabi, Penasihat
Hukum pada Islamic Congress Cairo dan lainnya.
11 Ahmad Azhar Basyir, Hukum Islam Tentang Riba, Untung-Piutang, Gadai,
Bandung, al-Ma’arif, 1983, hlm. 22-23
No comments:
Post a Comment