MAKALAH
RUKYATUL HILAL
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Dalam penentuan awal bulan maupun hari-hari besar
lainnya, itu tidak luput dari yang namanya rukyat serta hisab sebab kedua itu adalah cara yang dipakai sejak zaman dulu
sampai sekarang, walaupun sekarang sudah banyak alat yang lebih canggih yang
digunakan dalam melihat hilal seperti tedapatnya teropong bintang untuk
mempermudah dalam berukyat.
Tapi tidak dapat dipungkiri juga bahwa dalam berukyat ada
kalanya terdapat kejanggalan dalam pelaksanaannya,karena pada zaman sekarang
keadaan alam sudah berbeda dengan zaman dahulu sehingga terdapat kesulitan
dalam pelaksanaannya. Maka dari itu dalam menentukan awal bulan ramadhan tidak
diharuskan menggunakan rukyat saja tapi metode hisab juga sangat berperan penting karena
dalam segi metodologi, analisis kebenarannya lebih unggul, sehingga apabila
kedua metode tersebut digabungkan pasti akan menghasilkan suatu penentuan yang
logis dan benar tanpa ada perbedaan.
Sebagian orang memahami bahwa yang dimaksud rukyah adalah tampaknya hilal yang dilihat
oleh mata telanjang di lapangan pada hari ke 29 bulan Sya’ban atau bulan
Ramadlan. Oleh sebab itu, manakala sesaat matahari terbenam hilal dapat dilihat
maka malam dan keesokan harinya merupakan bulan baru, tetapi manakala pada saat
itu hilal tidak tampak maka malam dan keesokan harinya merupakan hari terakhir
bulan yang sedang berlangsung, sehingga umur bulan yang sedang berlangsung itu
30 hari (istikmal). Rupanya cara seperti itulah yang berlaku pada masa Rasulullah
SAW dan para sahabatnya. Cara semacam inilah yang kemudian dikenal dengan
Rukyah bil fi’li; yang dalam kaitannya dengan penetapan awal bulan, cara
seperti ini dikenal dengan penetapan awal bulan berdasarkan rukyah.
Oleh karena rukyah
dapat dijadikan dasar penetapan awal bulan, maka hisab pun tentunya dapat pula
dijadikan dasar penetapan awal bulan, Penetapan awal bulan dengan melihat hilal
dengan ilmu pengetahuan (hisab) seperti ini dikenal dengan Rukyah bil ‘ilmi
atau Rukyah bil ‘aqli.
1.2
Rumusan Masalah
1. apa yang dimaksud
dengan rukyat?
2. Historitas rukyat?
3. Apa hukum berukyat!
4.bagaimana kewajiban
teliti dengan rukyat serta theology hisab rukyat!
1.3
Tujuan
1. untuk mengetahui pengertian,serta
historitas rukyat !
2. memahami hukum dalam
berukyat !
3. memahami theology
serta hubungan hisab dengan rukyat !
BAB II
POKOK PEMBAHASAN
2.1
Pengertian Rukyat
Salah satu contoh hasil pengamatan kedudukan hilal
Rukyah menurut bahasa artinya
melihat dengan mata kepala atau dengan akal. Rukyah merupakan
bentuk masdar dari kata kerja raâ. Rukyah yang berarti melihat
dengan mata kepala muta’addi pada satu maf’ul sedangkan
yang bermakna mengetahui (melihat dengan ilmu) muta’addi pada dua maf’ul.[1]
Rukyat adalah aktivitas mengamati visibilitas hilal,
yakni penampakan bulan sabit yang pertama kali tampak setelah terjadinya
ijtimak. Rukyat
dapat dilakukan dengan mata telanjang, atau dengan alat bantu optik seperti
teleskop.
Aktivitas rukyat dilakukan pada saat menjelang
terbenamnya matahari pertama kali setelah ijtimak (pada waktu ini, posisi Bulan
berada di ufuk barat, dan Bulan terbenam sesaat setelah terbenamnya Matahari).
Apabila hilal terlihat, maka pada petang (Maghrib) waktu setempat telah
memasuki tanggal 1.
Namun demikian, tidak selamanya
hilal dapat terlihat. Jika selang waktu antara ijtimak dengan terbenamnya
matahari terlalu pendek, maka secara ilmiah/teori hilal mustahil terlihat,
karena iluminasi cahaya Bulan masih terlalu suram dibandingkan dengan
"cahaya langit" sekitarnya. Kriteria Danjon (1932, 1936) menyebutkan
bahwa hilal dapat terlihat tanpa alat bantu jika minimal jarak sudut (arc of
light) antara Bulan-Matahari sebesar 7 derajat.[2]
Rukyat juga dilakukan dengan
menggunakan peralatan canggih seperti teleskop yang dilengkapi CCD Imaging. namun tentunya perlu
dilihat lagi bagaimana penerapan kedua ilmu tersebut.
Perihal penentuan bulan baru, rasullah shalallahu’alaihi wa sallam
memberi perhatian khusus pada bulan sya’ban dan Ramadhan, hadits dari Abi hurairah
radhiallahu anhu, ia berkata: Rasullah bersabda:
عن أبي هريرة رضي الله تعالى عنه قال : قال النبي صلى الله عليه وسلم « صوموا
لرؤيته وأفطروا لرؤيته ، فإن غُبِّيَ عليكم فأَكْمِلوا عدة شعبان ثلاثين » رواه
البخاري ومسلم والنَّسائي وأحمد وابن حِبَّان
Dari Abi
Hurairah ra berkata, Rasulullah saw bersabda: Berpuasalah kalian karena
rukyat hilal, dan berbukalah kalian (akhirilah Ramadhan) karena rukyat hilal,
jika ia tertutup kabut maka sempurnakanlah hitungan Sya’ban 30 hari. (HR.
Bukhori, Muslim, Nasai, Ahmad, dan Ibn Hibban).[3]
2.2 Historitas
rukyat
Merujuk
pada penemuan pertama ilmu hisab atau astronomi yakni nabi Idris, tampak bahwa
wacana (persoalan) hisab rukyat sudah ada sejak zaman itu, sehingga hisab
rukyat dalam telusuran sejarah dapat diyakini muncul sebelum temuan ilmu falak.
Walaupun demikian, belum ada yang dapat melacak benang merah dalam upaya
menyambung historitas awal dengan persoalan hisab rukyat sesudahnya.
Baru
sekitar abad ke-28 SM embrio ilmu falak mulai tampak. Ia digunakan untuk
menentukan waktu bagi saat penyembahan berhala, keadaan seperti ini sudah mulai tampak di beberapa negara seperti di
mesir untuk menyembah dewa orisis, isis, dan amon, di babilonia mesopotamia
untuk menyembah dewa astoroth dan baal. Sedangkan pengetehuan tentang mana-nama hari dalam
seminggu sudah ada sejak 5000 tahun sebelum masehi yang masing-masing diberi
nama dengan nama benda langit. Matahari untuk hari ahad, bulan untuk hari
senin, mars untuk hari selasa, merkurius untuk hari rabu, Jupiter untuk hari
kamis, venus untuk hari jum’at, dan saturnus untuk hari sabtu. Kemudian pada
abad 20 SM, di negeri Tionghoa telah ditemukan alat untuk mengetahui gerak
matahari dan benda-benda langit lainnya dan mereka pulalah yang mula-mula dapat
menemukan terjadinya gerhana matahari.
Dan
selanjutnya di masa awal islam (masa Rasulullah). Ilmu hisab memang belum
mashur di kalangan umat islam, sebagaimana terekam dalam hadits Nabi: inna umati umiyyatun la naktubu wala’
nahsibu. Walaupun sebenarnya ada juga diantara mereka mahir dalam
perhitungan, sehingga realitas persoalan hisab rukyah pada masa itu tentunya
sudah ada walaupun dari sisi hisabnya tidak begitu masyhur. Namun sebenarnya
perhitungan tahun hijriah pernah digunakan sendiri oleh nabi Muhammad ketika
beliau menulis surat kepada kaum nasrani Bani Najran, tertulis ke-5 Hijriah.
Namun di dunia arab lebih mengenal peristiwa-peristiwa yang terjadi sehingga
ada istilah tahun gajah, tahun izin, tahun amar, dan tahun zilzal.[4]
Secara
formal, wacana hisab rukyah di masa ini baru tampak dari adanya penetapan
hijrah Nabi dari mekkah ke madinah sebagai pondasi dasar kalender hijriah yang
dilakukan oleh sahabat Umar bin khatab tepatnya pada tahun ke- 7 Hijriah dan
dengan berbagai pertimbangan bulan muharram ditetapkan sebagai awal bulan
hijriah.
2.2 Hukum dalam Rukyah
Rukyat hilal adalah sebuah fardlu kifayah, maka
sebagaimana semua hukum fardlu kifayah, jikalau sudah ada sebagian kaum
muslimin yang melaksanakannya maka gugur kewajiban bagi yang lainnya. Bukan merupakan
kewajiban setiap muslim untuk keluar untuk melihat hilal. Hal ini berdasarkan
hadits ibnu umar:
Dari ibnu umar ra, berkata:”orang-orang berusaha melihat hilal,saya
pun kabarkan kepada rasulullah,bahwa saya melihatnya. Maka beliau berpuasa dan beliau
memerintahkan kepada manusia berpuasa.”(HR. Abu Dawud,)
Dalam hadits ini
sangat jelas bahwa para sahabat banyak berusaha melihat hilal. Seandainya ini
adalah fardlu ain niscaya semua orang harus melihat hilal terlebih dahulu, dan
ini tidak pernah ada seorang ulama’pun yang mengatakanya. Pada dasarnya tidak
boleh menetapkan masuk dan keluarnya sebuah syar’i kecuali dengan adanya dua
orang terpercaya yang bersaksi bahwa dia melihat hilal. Kalau tidak ada yang
melihat maka berarti harus menyempurnakan hitungan bulan tersebut menjadi tiga
puluh hari.
2.3
kewajiban teliti dengan
rukyat serta theology hisab rukyat
Perubahan kondisi zaman ini dengan zaman rosulullah dan para
sahabatnya, baik dari sisi alam maupun manusianya menjadikan kaum muslimin di zaman
ini harus lebih meningkatkan ketelitian dalam rukyah hilal.
Jika pada zaman rosulullah alam masih
asli tanpa ada asap bumi yang mempengaruhi ufuk, juga tidak ada sinar buatan
yang terpancar dari lampu-lampu di bumi yang biasa berpengaruh pada kondisi
langit serta tidak adanya pesawat ruang angkasa yang banyak melintas di ufuk ditambah
kondisi umat pada zaman itu yang jujur tanpa ada kepentingan duniawi atau pun
lainnya dalam persaksian melihat hilal serta kebenaran mereka sangat mengetahui
tanda-tanda alam.
Adapun pada zaman ini, kondisi alam
sudah banyak berubah,polusi asap kendaraan maupun pabrik dan cahaya buatan yang
sangat berpengaruh pada kondisi ufuk serta banyak nya orang yang kurang
mengetahui kondisi alam baik bintang maupun bulan. Kenyataan tersebut menjadikan badan berwenang harus berhati-hati
dalam menetapkan hasil rukyat.[5]
Dari itu semua, maka para foqoho
menetapkan syarat untuk bias diterima persaksianya melihat hilal,yaitu:
1.
Adil yang dimaksud dengan orang yang adil adalah
orang yang mengerjakan kewajiban dan meninggalkan perbuatan dosa besar dan
tidak terus menerus berkubang dalam perbuatan dosa kecil. Oleh karena itu, yang
benar sehubungan dengan persaksian adalah bisa diterima sebuah persaksian jika
diprediksi dengan benar dan jujur. Berdasarkan firman allah: ksian
jika diprediksi bahwa itu benar dan jujur. Berdasarkan firman allah:
ممّن
ترضو ن من الشهداء
Dari para saksi yang kamu
ridhoi.(QS. Al-baqoroh:282)
2.
Mukallaf maksudnya orang
tersebut sudah baligh dan berakal sehat.
3.
Mempunyai pandangan yang tajam karena jika pandangannya kuat dan tajam, niscaya persaksian dia bisa
diterima.
Perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi
pada zaman sekarang adalah sebuah nikmat allah yang sangat berharga bagi kaum
muslimin. Oleh karna itu, kaum muslimin banyak menggunakan perkembangan ilmu
pengetahuan ini untuk kepentingan ibadah kepada allah.
Di antara
perkembangan ilmu teknologi adalah teropong bintang untuk melihat benda-benda
langit dan aktivitas observasi antariksa lainnya.
Dari sini
muncul sebuah masalah: bolehkah menggunakan teropong bintang untuk rukyat
hilal? Ataukah rukyat hilal itu harus dengan pandangan mata telanjang tanpa
bantuan alat?
Saikh abdul aziz bin Abdullah bin baz beliau
berkata: Namun, ini bukan berarti saya melarang menggunakan teropong bintang
untuk rukyat hilal, namun yang saya maksud adalah tidak boleh hanya berpatokan
pada teropong tersebut, atau teropong itu dijadikan dasar dalam rukyat, dalam
artian kita tidak menetapkan rukyat hilal kecuali yang dibenarkan oleo alat
teropong bintang itu. Ini semua adalah kebatilan.(majmu’ Fatawa beliau
15/131).
Dari sini
dapat diambil sebuah kaidah tentang penggunaan alat senacan teropong bintang
untuk rukyat hilal, yaitu:
Ø
Alat tersebut hanya alat bantu bukan menjadi patokan, sehingga rukyat
dengan mata telanjang karena tidak terangkap oleh teropong.
Ø
Tidak boleh memeksakan diri dalam menggunakannya.
Ø
Dipastikan hilal benar-benar terlihat dengan alat tersebut.
Ø
Yang menggunakannya adalah orang islam yang tercercaya.[6]
Hisab
secara harfiah 'perhitungan. Dalam dunia Islam istilah hisab sering
digunakan dalam ilmu falak (astronomi) untuk memperkirakan posisi matahari dan bulan terhadap bumi.
Posisi matahari menjadi penting karena menjadi patokan umat Islam dalam
menentukan masuknya waktu salat.
Sementara posisi bulan diperkirakan untuk mengetahui terjadinya hilal sebagai penanda masuknya periode bulan baru dalah kalender Hijriyah. Hal ini penting terutama untuk menentukan awal Rhamadhan saat muslim mulai
berpuasa, awal syawal (idul fitri), serta awal Dzulhijjah saat jamaah haji wukuf di arafah (9 Dzulhijjah) dan idul adha(10 Dzulhijjah).
Dalam Al-Qur'an surat Yunus ayat 5 dikatakan
bahwa Tuhan memang sengaja menjadikan matahari dan bulan sebagai alat
menghitung tahun dan perhitungan lainnya. Juga dalam Surat Ar-Rahman ayat 5
disebutkan bahwa matahari dan bulan beredar menurut perhitungan.
Karena ibadah-ibadah dalam Islam terkait
langsung dengan posisi benda-benda langit (khususnya matahari dan bulan) maka
sejak awal peradaban Islam menaruh perhatian besar terhadap astronomi. Astronom
muslim ternama yang telah mengembangkan metode hisab modern adalah Al Biruni (973-1048 M), Ibnu Thariq, Al Khawarizmi,
Al Batani, dan Habash.[7]
Metode hisab telah menggunakan komputer dengan
tingkat presisi dan akurasi yang tinggi.
Berbagai perangkat lunak (software) yang praktis juga telah ada. Hisab
seringkali digunakan sebelum rukyat dilakukan. Salah satu hasil hisab adalah
penentuan kapan ijtimak terjadi, yaitu saat matahari, bulan, dan bumi berada
dalam posisi sebidang atau disebut pula konjungsi geosentris. Konjungsi
geosentris terjadi pada saat matahari dan bulan berada di posisi bujur langit yang sama jika
diamati dari bumi. Ijtimak terjadi 29,531 hari sekali, atau disebut pula satu
periode sinodik.
Allah
mencipta macrocosm (alam semesta) dan microcosm (manusia) dengan
diatur sunnatullah dan dinullah (agama). Sunnatullah bersifat
objektif, pasti dan tetap, tidak diwahyukan akan tetapi terbentang dalam
hamparan alam semesta dan alam manusia, kajian terhadap sunnatullah melahirkan
ilmu-ilmu dunia (hisab, dll.), sedangkan kebenaran ilmu dunia diukur dengan
seberapa akurat ia didukung oleh realitas empirikal-objektif. Dinullah
bersifat subjektif, tidak pasti dan tidak tetap, diwahyukan berupa al-Qur’an
dan Hadis, kajian terhadapnya melahirkan ilmu agama, kebenaran ilmu agama
diukur dengan sebarapa akurat ia didukung oleh realitas legal-formal
(dalil-dalil naqli).
Kemunculan
hilal (bulan) adalah fenomena natural yang tunduk sepenuhnya kepada sunnatullah
tentang perjalanan bumi, bulan dan matahari. Disamping itu, dalam menetapkan
hisab dibutuhkan kerja proses empat tahap yaitu 1) ru’yah/observasi, 2)pengukuran/kuantifikasi,
3)analisis dan 4) penyimpulan.
BAB
III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
berdasarkan
argumentasi-argumentasi di atas, dapat diambil sebuah kesimpulan bahwa hisab
dan rukyah dapat digunakan dalam menentukan awal Ramadhan, meskipun hisab lebih
unggul dalam segi metodologi, analisis dan akurasi kebenarannya, akan tetapi kedua metode penentuan awal bulan ini, khusus
bulan Ramadhan bisa saling melengkapi dan saling menyempurnakan satu sama lain
sehingga disamping rasional juga bersifat empirik, bukan digunakan secara
terpisah-pisah, karena sesuatu yang bersifat rasionalitas terkadang tidak
selamanya dapat dibuktikan (empirik) begitu juga sesuatu yang bersifat empirik
terkadang tidak rasional sehingga dibutuhkan penggabungan keduanya. Kesempurnaan
dan kebenaran hanya milik Allah semata, manusia hanya berusaha mencari
kebenaran yang nisbi (relative) akan tetapi hanya Allah-lah yang
memiliki kebenaran absolut.
DAFTAR
PUSTAKA
·
http:misbahussurur81.blogspot.com/2010/03/rukyat.html
·
http://
Dr. Monzur Ahmed/ id.wikipedia.org/wiki/Hisab_dan_rukyat
·
http://andyzamani.com/
2011/08/30/ kenapa-harus-menggunakan-rukyat.html Hisab_dan_rukyat
·
Ahmad izzudin,fiqih
hisab rukyat: menyatukan NU dan Muhammadiyah dalam penentuan awal
ramadhan,( PT.Gelora Aksara Pratama,2007),
·
Ahmad sabiq bin
abdul latif abu yusuf, bi’akah ilmu hisab: kajian ilmiah tentang
polemic hisab rukyat untuk menetapkan puasa ramadhon dan hari raya,(Gresik:
Pustaka Al Furqon,2007),
[1] http:misbahussurur81.blogspot.com/2010/03/rukyat.html
diakses pada tanggal 05 oktober 2011
pukul 21.00
[2] http:// Dr. Monzur Ahmed/ id.wikipedia.org/wiki/Hisab_dan_rukyat
diakses pada tanggal 08 oktober 2011 pukul
09.15
[3] http://andyzamani.com/ 2011/08/30/ kenapa-harus-menggunakan-rukyat.html
Hisab_dan_rukyat diakses pada tanggal 08 oktober 2011 pukul 09.15
[4] Ahmad izzudin,fiqih hisab rukyat:
menyatukan NU dan Muhammadiyah dalam penentuan awal ramadhan,( PT.Gelora
Aksara Pratama,2007)Hal 50
[5] Ahmad sabiq bin abdul latif abu
yusuf, bi’akah ilmu hisab: kajian ilmiah tentang polemic hisab rukyat
untuk menetapkan puasa ramadhon dan hari raya,(Gresik: Pustaka Al Furqon,1431H),hlm.153
[7] http:// Dr. Monzur Ahmed/
id.wikipedia.org/wiki/Hisab_dan_rukyat diakses pada tanggal 08 oktober 2011
pukul 09.15
No comments:
Post a Comment