BAB I
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Hukum acara
perdata tidaklah kurang pentingnya dengan hukum lainnya. Untuk tegaknya hukum,
khususnya hukum perdata materiil,maka diperlukan hukum acara perdata. Hukum
perdata materiil tidak mungkin berdiri sendiri lepas dari hukum acara perdata,
begitu juga sebaliknya hukum acara perdata tidak mungkin berdiri sendiri lepas
dari pada hukum perdata materiil, kedua-duanya saling memerlukan satu sama
lain.
Perkembangan
hukum tidak hanya di tangan pembentuk undang-undang saja, tetapi hakimpun tidak
kecil peranannya dalam perkembangan hukum. Bahkan hukum itu kebanyakan
diciptakan oleh hakim. Bagi hakim hukum acara merupakan pegangan pokok
atau aturan permainan sehari-hari dalam memeriksa perkara. Hukum acara perdata
itu tidak hanya penting di dalam praktek peradilan saja, tetapi mempunyai
pengaruhnya juga di dalam praktek diluar pengadilan.
Maka oleh
karena itu hukum acara perdata perlu mendapat perhatian selayaknya, difahami
dan dikuasai.
1.2. Rumusan Masalah
Dari uraian
latar belakang diatas dapat kami rumuskan beberapa masalah sebagai berikut :
1. Macam-macam Putusan Hakim
2. Kekuatan Putusan Hakim
3. Susunan dan Isi Putusan
4. Upaya Hukum Terhadap Putusan
5. Pelaksanaan Putusan
BAB II
PEMBAHASAN
Sesuai
dengan ketentuan pasal 178 HIR, pasal 189 Rbg, apabila pemeriksaan perkara
selesai, majlis hakim karena jabatannya melakukan musyawarah untuk mengambil
putusan yang akan dijatuhkan. Proses pemeriksaan dianggap selesai, apabila
telah menempuh tahap jawaban dari tergugat sesuai dengan pasal 121 HIR, pasal
113 RV yang dibarengi dengan replik dari penggugat berdasarkan pasal 115 RV,
maupun duplik dari tergugat dan dilanjutkan dengan tahap pembuktian dan
konklusi. Jika semua tahap ini telah dselesaikan maka majelis mengatakan
pemeriksaan ditutup dan proses selanjutnya adalah manjatuhkan pengucapan
putusan.[1]
2.1. Macam-Macam Putusan Hakim
Ada 2
golongan putusan hakim yaitu putusan akhir dan putusan sela. Salah satu putusan
sela yang dikenal dalam HIR adalah putusan provisionial.
1. Putusan Akhir
Putusan
akhir adalah putusan yang mengakhiri suatu sengketa atau perkara dalam suatu
tingkatan peradilan tertentu. Putusan akhir ini ada yang bersifat menghukum
(condemnatoir), ada yang bersifat menciptakan (constitutif), dan ada pula yang
bersifat menerangkan atau menyatakan (declaratoir).[2]
a.
Putusan
Condemnatoir adalah putusan yang bersifat menghukum pihak yang dikalahkan untuk
memenuhi prestasi. Di dalam putusan condemnatoir diakui hak penggugat atas
prestasi yang dituntutnya. Hukuman semacam itu hanya terjadi berhubung dengan
perikatan yang bersumbera pada persetujuan atau undang-undang, yang prestasinya
dapat terdiri memberi, berbuat, dan tidak berbuat. Pada umumnya putusan
condemnatoir itu berisi hukuman untuk membayar sejumlah uang.
b.
Putusan
Constitutif adalah putusan yang meniadakan atau menciptakan suatu keadaan
hukum, misalnya pemutusan perkawinan, pengangkatan wali, pemberian pengampuan,
pernyataan pailit, pemutusan perjanjian (pasal 1266, 1267 BW) dan sebagainya.
Putusan constitutive ini pada umumnya tidak dapat dilaksanakan dalam arti kata
seperti tersebut di atas, karena tidak menetapkan hak atas suatu prestasi
tertentu, maka akibat hukumnya atau pelaksanaannya tidak tergantung pada
bantuan dari pada pihak lawan yang dikalahkan.
c.
Putusan
Declaratoir adalah putusan yang isinya bersifat menerangkan atau menyatakan apa
yang sah, misalnya bahwa anak yang yang menjadi sengketa adalah anak yang sah
juga tiap putusan yang bersifat menolak gugatan merupakan putusan declaratoir.
Di sini dikatakan sebagai hukum tertetu yang dituntut oleh penggugat atau
pemohon ada atau tidak ada tanpa mengakui adanya hak atas suatu prestasi.
2. Putusan Sela
Putusan sela
(pasal 185 HIR / pasal 196 Rbg) adalah keputusan yang bukan merupakan putusan
putusan akhir walaupun harus diucapkan dalam persidangan juga tidak dibuat
secar terpisah, tetapi hanya ditulis dalam berita acara persidangan.[3]
Mengenai
putusan sela ada bermacam-macam, antara lain yaitu :
a)
Putusan
Preparatoir adalah putusan sebagai persiapan putusan akhir, tanpa mempunyai
pengaruhnya atas pokok perkara atau putusan akhir. Contoh putusan preparatoir
adalah putusan untuk menggabungkan dua perkara atau menolak diundurkannya
pemeriksaan saksi.
b)
Putusan
Insidentil adalah putusan yang berhubungan dengan insiden, yaitu peristiwa yang
menghentkan prosedur peradilan biasa. Misalnya putusan yang membolehkan
seseorang ikut kerja dalam perkara.
c)
Putusan
Provisionil adalah putusan yang dijatuhkan sehubungan dengan tuntutan dalam
pokok perkara. Sementara itu diadakan tindakan-tindakan pendahuluan untuk
kefaedahan salah satu pihak atau kedua belah pihak.
d)
Putusan
Verstek adalah adalah putusan yang dijatuhkan karena tergugat/termohon tidak
pernah hadir meskipun telah dipanggil secara resmi, sedang penggugat hadir dan
mohon putusan. Verstek artinya tergugat tidak hadir. Putusan verstek dapat
dijatuhkan dalam sidang pertama atau sesudahnya, sesudah tahapan pembacaan
gugatan sebelum tahapan jawaban tergugat, sepanjang tergugat/para tergugat
semuanya belum hadir dalam sidang padahal telah dipanggil dengan resmi dan
patut.
Putusan
verstek dapat dijatuhkan apabila memenuhi syarat :
a.
Tergugat
telah dipanggil resmi dan patut untuk hadir dalam sidang hari itu
b.
Tergugat ternyata
tidak hadir dalam sidang tersebut, dan tidak pula mewakilkan orang lain untuk
hadir, serta ketidak hadirannya itu karena suatu halangan yang sah
c.
Tergugat
tidak mengajukan tangkisan/eksepsi mengenai kewenangan
d.
Penggugat
hadir dalam sidang
e.
Penggugat
mohon keputusan
Dari pasal
185 H.I.R dapat diketahui bahwa :
a.
Semua
putusan sela diucapkan dalam siding
b.
Semua
putusan sela merupakan bagian dari berita acara
c.
Salinan
otentik dapat diberikan dari berita acara yang memuat putusan sela kepada kedua
belah pihak.
HIR tidak
mengatur tentang kekuatan putusan hakim. Putusan hakim mempunyai 3 macam
kekuatan : kekuatan mengikat, kekuatan pembuktian, dan kekuatan eksekutorial
(kekuatan untuk dilaksanakan).
1. Kekuatan Mengikat
Untuk dapat
melaksanakan atau merealisasikan suatu hak secara paksa diperlukan suatu
putusan pengadilan atau akta otentik yang menetapkan hak itu. Suatu putusan
pengadilan dimaksudkan untuk menyelesaikan suatu persoalan atau sengketa dan
menetapkan hak atau hukumnya. Kalau pihak yang bersangkutan menyerahkan dan
mempercayakan sengketanya kepada pengadilan atau hakim untuk diperiksa atau
diadili, maka hal ini mengandung arti bahwa pihak-pihak yang bersangkutan akan
tunduk dan patuh pada putusan yang dijatuhkan. Jadi putusan hakim mempunyai
kekuatan mengikat yaitu putusan yang harus ditaati oleh kedua belah pihak.
2.
Kekuatan
Pembuktian
Suatu
putusan dituangkan dalam bentuk tertulis, yang merupakan akta otentik, tidak
lain bertujuan untuk dapat digunakan sebagai sebagai alat bukti bagi para
pihak, yang mungkin diperlukan untuk mengajukan banding, kasasi, atau
pelaksanaannya.
3. Kekuatan Eksekutorial
Suatu
putusan dimaksudkan untuk menyelesaikan suatu persoalan atau sengketa dan
menetapkan hak atau hukumnya. Ini tidak berarti semata-mata hanya menetapkan
hak atau hukumnya saja, melainkan juga realisasi atau pelaksanaannya
(eksekusinya) secara paksa. Kekuatan mengikat saja dari suatu putusan
pengadilan belumlah cukup dan tidak berarti apabila putusan itu tidak dapat
direalisasikan. Oleh karena putusan itu menetapkan dengan tegas hak atau
hukumnya untuk kemudian direalisasikan, maka putusan hakim mempunyai kekuatan
eksekutorial, yaitu kekuatan untuk dilaksanakan apa yang ditetapkan dalam
putusan itu secara paksa oleh alat-alat Negara.
2.3. Susunan dan isi Putusan
Mengenai isi
surat putusan, di dalam HIR tidak ada ketentuan yang mengatur tentang bagaimana
putusan hakim harus dibuat. Hanyalah tentang apa yang harus dimuat di dalam
putusan diatur dalam pasal 183, 184, 187, HIR (pasal 194, 195, 198 Rbg), pasal
25 UU No. 4 tahun 2004, pasal 27 RO, pasal 61 Rv.[5]
Pasal 178
H.I.R menentukan bahwa :
1.
Hakim dalam
waktu bermusyawarah karena jabatannya harus mencakupkan alas an-alasan hukum
yang mungkin tidak dikemukakan oleh kedua belah pihak.
2.
Ia
berkewajiban mengadili segala bagian gugatan.
3.
Ia dilarang
menjatuhkan keputusan atas perkara yang tidak digugat.
Suatu
putusan hakim terdiri dari 4 bagian, yaitu :
a) Kepala Putusan
Suatu
putusan pengadilan haruslah mempunyai kepala pada bagian atas putusan yang
berbunyi : "Demi keadilan berdasarkan ke-Tuhanan Yang Maha Esa"
(pasal 435 Rv).[6]
Kepala putusan ini memberi kekuatan eksekutorial pada putusan. Apabila kepala
putusan ini tidak dibubuhkan pada suatu putusan pengadilan, maka hakim tidak
dapat melaksanakan putusan tersebut (pasal 224 HIR, 258 Rbg).
b) Identitas
Para Pihak
Sebagaimana
suatu perkara atau gugatan itu mempunyai sekurang-kurangnya 2 pihak, maka di
dalam putusan harus di muat identitas dari para pihak : nama, alamat, dan
nama dari pengacaranya kalau ada.
c) Pertimbangan
Pertimbangan
atau yang sering disebut juga considerans merupakan dasar putusan. Pertimbangan
dalam putusan perdata di bagi 2 yaitu pertimbangan tentang duduknya perkara
atau peristiwanya dan pertimbangan tentang hukumnya. Apa yang dimuat dalam
bagian pertimbangan dari putusan tidak lain adalah alasan-alasan hakim sebagaia
pertanggung jawaban kepada masyarakat mengapa ia sampai mengambil putusan
demikian, sehingga oleh karenanya mempunyai nilai obyektif. Alasan dan dasar
putusan harus di muat dalam pertimbangan putusan (pasal 184 HIR, 195 Rbg, 25 UU
No. 4 tahun 2004).
d) Amar
Yang
merupakan jawaban terhadap petitum dari pada gugatan adalah amar atau dictum.
Ini berarti bahwa dictum merupakan tanggapan terhadap petitum. Hakim wajib mengadili
semua bagian tuntutan dan dilarang menjatuhkan putusan atas perkara yang tidak
dituntut atau mengabulkan lebih dari yang dituntut (pasal 178 ayat 2 dan 3 HIR,
189 ayat 2 dan 3 Rbg).
Pasal 187
H.I.R menentukan bahwa :
1.
Jika dalam
kemustahilan akan menandatangani keputusan atau berita acara persidangan maka
itu dikerjakan oleh anggota yang martabatnya langsung dibawah ketua yang serta
memeriksa perkara itu.
2.
Jika
panitera pengadilan dalam kemustahilan maka hal itu dengan sungguh disebutkan
dalam berita acara dalam persidangan itu.
Pasal 182
H.I.R mengatur tentang pengertian biaya perkara yang berupa :
1.
Biaya
kepaniteraan pengadilan dan biaya materi yang perlu untuk perkara,
2.
Biaya saksi
orang ahli dan juru bahasa terhitung juga biaya sumpah mereka dengan pengertian
bahwa pihak yang menyuruh periksa lebih dari lima saksi tentang suatu perbuatan
itu juga tidak boleh memperhitungkan bayaran penyaksian yang lebih itu kepada
lawan,
3.
Biaya
pemeriksaan setempat dan pekerjaan hakim yang lain.
4.
Bagi pejabat
yang dipertanggungkan melakukan pengadilan pemberitahuan dan surat sita yang
lain,
5.
Biaya yang
disebut dalam pasal 183 ayat keenam,
6.
Bagi yang
harus dibayar kepada panitera pengadilan atau pejabat yang lain karena
mangalahkan keputusan itu semuanya itu menurut UU dan daftar harga yang sudah
ada atau yang ditetapkan kemudian oleh gubernur jendral.
Menurut
pasal 183 H.I.R biaya perkara yang menurut keputusan oleh salah satu pihak
harus disebutkan dalam satu putusan, disamping itu mengenai suatu besarnya
ganti rugi dan bunga harus pula disebut dalam putusan.
Oleh karena
itu putusan hanya sekedar menyebutkan :
1.
Menghukum
tergugat untuk membayar kerugian pada penggugat
2.
Menghukum
tergugat untuk membayar biaya perkara
3.
Menghukum
tergugat untuk membayar kerugian pada penggugat sebesar Rp………?
4.
Menghukum
tergugat untuk membayar biaya perkara sebesar Rp………?
2.4. Upaya Hukum Terhadap Putusan
Suatu
putusan seorang hakim itu tidak luput dari kekeliruan dan kekhilafan, bahkan
tidak mustahil bersifat memihak. Maka mebenaran dan keadilan setiap putusan
hakim perlu dimungkinkan untuk diperiksa ulang, agar kekeliruan yang terjadi
pada putuan dapat diperbaiki. Bagi setiap putusan pada umumnya tersedia upaya
hukum, yaitu upaya atau alat untuk mencegah atau memperbaiki kekeliruan dalam
suatu putusan.
Upaya
pelaksanaan hukum biasa pada asasnya terbuka untuk setiap putusan selama
tenggang waktu yang ditentukan oleh undang-undang. Wewenang untuk
menggunakannya harus dengan menerima putusan. Upaya pelaksanaan hukum biasa
bersifat menghentikan pelaksanaan putusan untuk sementara. Upaya hukum biasa
ialah : perlawanan (verzet), banding, kasasi, dan peninjauan kembali (PK).[7]
A.
Perlawanan
(verzet) merupakan upaya hukum terhadap putusan yang dijatuhkan diluar hadirnya
tergugat atau putusan verstek (ps. 125 ayat 3 jo. 129 HIR, 149ayat 3 jo. 153
Rbg). Pada dasarnya perlawanan ini disediakan bagi pihak tergugat yang (pada
umumnya) dikalahkan. Bagi penggugat yang dengan putusan verzet dikalahkan
tersedia upaya hukum banding (ps. 8 ayat 1 UU 20 tahun 1974, ps. 200 Rbg).
B. Banding yaitu apabila salah satu pihak dalam suatu
perkara tidak menerima suatu putusan pengadilan negeri karena merasa hak-haknya
terserang pleh adanya putusan itu atau menganggap putusan itu kurang benar atau
adil, maka ia dapat mengajukan permohonan banding kepada pengadilan tinggi,
untuk dimintakan pemeriksaan ulang.
C. Kasasi adalah upaya hukum yang diberikan terhadap
putusan-putusan yang ditetapkan dalam pengadilan tingkat banding. Upaya hukum
kasasi ini tidak lagi ditujukan kepada pengadilan tingkat tinggi melainkan
kepada Mahkamah Agung (MA).
D.
Peninjauan
Kembali (PK)/ Herziening adalah suatu putusan pengadilan yang telah
memperoleh kekuatan hukum yang tetap atas suatu perkara pidana maupun perdata,
berhubungan dengan ditemukannya fakta-fakta yang dulu tidak diketahui oleh
Hakim. Permohonan Peninjauan Kembali dalam perkara perdata diatur dalam
Peraturan Mahkamah Agung No. 1 Tahun 1982 yang merupakan penyempurnaan dari
Peraturan Mahkamah Agung No. 1 Tahun 1980.
Permohonan
Peninjauan Kembali dalam perkara perdata diajukan berdasarkan alasan-alasan
sebagai berikut:
1.
Apabila putusan
didasarkan pada suatu kebohongan atau tipu muslihat dari pihak lawan yang
diketahui setelah perkara diputus atau pada suatu keterangan saksi atau
surat-surat bukti yang kemudian oleh Hakim pidana dinyatakan palsu.
2. Apabila setelah perkara-perkara diputus, diketemukan
surat-surat bukti yang bersifat menentukan, pada waktu perkara diperiksa tidak
dapat diketemukan (novum).
3. Apabila telah dikabulkan suatu hal yang tidak dituntut
atau lebih dari pada yang dituntut.
4. Apabila mengenai suatu bagian dari tuntutan belum
diputus tanpa dipertimbangkan sebab-sebabnya.
5. Apabila antara pihak-pihak yang sama mengenai suatu
soal yang sama, atas dasar yang sama, oleh Pengadilan yang sama atau sama
tingkatannya telah diberikan putusan yang satu dengan lainya saling
bertentangan.
6.
Apabila dalam
suatu putusan terdapat ketentuan-ketentuan yang bertentangan satu dengan
lainnya.
Adapun
tenggang/ jangka waktu pengajuan Peninjauan Kembali dalam perkara perdata,
Pasal 8 Peraturan Mahkamah Agung No. 1 Tahun 1982 pada pokoknya menyatakan :
1.
Dalam
putusan didasarkan pada suatu kebohongan atau tipu muslihat, keterangan saksi
palsu dan atau bukti palsu, diajukan dalam tenggang waktu selama 6 (enam) bulan
sejak putusan memperoleh kekuatan hukum tetap atau sejak hari
diketahui/terjadinya hal-hal/alasan-alasan yang dimaksud, yang hari serta
tanggalnya dapat dibuktikan secara tertulis.
2.
Dengan
alasan adanya novum, Permohonan Peninjauan Kembali diajukan dalam tenggang
waktu selama 6 (enam) bulan sejak diketahui atau diketemukannya suatu novum,
yang hari serta tanggalnya dapat dibuktikan secara tertulis.
3.
Dalam hal
putusan dianggap mengabulkan yang tidak dituntut atau lebih dari pada yang
dituntut atau putusan belum memutus suatu bagian dari tuntutan/ gugatan tanpa
dipertimbangkan sebab-sebabnya, dan atau putusan hakim perdata tersebut
mengandung ketentuan-ketentuan yang bertentangan satu dengan lainnya maka
Permohonan Peninjauan Kembali atas putusan hakim perdata itu harus diajukan
dalam tempo waktu 6 (enam) bulan sejak putusan memperoleh kekuatan hukum tetap.
4.
Untuk alasan
karena adanya 2 (dua) putusan Pengadilan yang sama tingkatannya, dalam perkara
yang sama dengan subjek/ objek hukum yang sama namun antara isi satu putusan
pengadilan dengan isi putusan pengadilan lainnya saling bertentangan,
Permohonan Peninjauan Kembali atas alasan tersebut diajukan dalam tenggang
waktu selama 6 (enam) bulan sejak putusan yang ter akhir dan bertentangan itu
memperoleh kekuatan hukum yang tetap.
2.5. Pelaksanaan Putusan
Pelaksanaan
atau eksekusi suatu putusan yang menghukum seseorang untuk melakukan perbuatan
tertentu, mendapatkan pengaturan secara khusus dalam pasal 225 HIR, dengan
judul : "Tentang Beberapa Acara Khusus".
Di sini
diterapkan bahwa apabila seseorang dihukum untuk melakukan sesuatu perbuatan
tertentu maka apabila pihak yang dihukum untuk melakukan perbuatan tersebut
tidak suka melakukannya, pihak yang berkepentingan harus menghadap hakim lagi
untuk meminta agar perbuatan tersebut dinilai dengan sejumlah uang.
Mengenai
cara dan jalannya eksekusi putusan itu sendiri oleh HIR diberikan
peraturan-peraturan sebagai berikut :
Pelaksanaan
putusan itu terjadi karena perintah dan dibawah pimpinan ketua pengadilan yang
dulu memeriksa dan memutus perkaranya dalam tingkat yang pertama. Apabila
pelaksanaan itu seluruhnya atau sebagian harus dilakukan diluar wilayah hukum
pengadilan tersebut, maka ketua pengadilan tersebut meminta perantara dan
bantuan ketua pengadilan di wilayah yang bersangkutan.
Katua
pengadilan yang diminta perantaranya di wajibkan dalam waktu dua kali 24 jam,
melaporkan tentang tindakan-tindakan yang diperintahnya dan bagaimana hasilnya
kepada ketua pengadilan yang dalam tingkat pertama memeriksa perkaranya (pasal
195 ayat 5 HIR).
Tentang hal
perselisihan yang timbul itu dan tentang putusan yang diambilnya, ketua
pengadilan yang disebutkan tadi wajib memberikan laporan tertulis kepada ketua
pengadilan yang memeriksa perkaranya dalam tingkat pertama dalam kurun waktu 24
jam (195 ayat 7 HIR).
Pelaksanaan
putusan / eksekusi adalah putusan pengadilan yang dapat dilaksanakan. Dan
putusan pengadilan yang dapat dilaksanakan adalah putusan yang sudah mempunyai
kekuatan hukum tetap (in kracht van gewijsde) . Putusan yang sudah berkekuatan
tetap adalah putusan yang sudah tidak mungkin lagi dilawan dengan upaya hukum
verzet, banding, kasasi, maupun PK.
Pengadilan Agama sebagai salah satu pelaksana kekuasaan kehakiman dapat melaksanakan segala putusan yang dijatuhkannya secara mandiri tanpa harus melalui bantuan Pengadilan Negeri. Hal ini berlaku setelah ditetapkannya UU No. 7/1989.[8]
Pengadilan Agama sebagai salah satu pelaksana kekuasaan kehakiman dapat melaksanakan segala putusan yang dijatuhkannya secara mandiri tanpa harus melalui bantuan Pengadilan Negeri. Hal ini berlaku setelah ditetapkannya UU No. 7/1989.[8]
Dan sebagai
akibat dari ketentuan UU Peradilan Agama di atas adalah :
a)
Ketentuan
tentang eksekutoir verklaring dan pengukuhan oleh Pengadilan Negeri dihapuskan.
b)
Pada setiap
Pengadilan Agama diadakan Juru Sita untuk dapat melaksanakan
putusan-putusannya.
Pelaksanaan
putusan hakim dapat :
a)
Secara suka
rela, atau
b)
Secara paksa
dengan menggunakan alat Negara, apabila pihak terhukum tidak maumelaksanakan
secara sukarela.
Semua
keputusan pengadilan mempunyai kekuatan eksekutorial, yaitu kekuatan untuk
dilaksanakan secara paksa oleh alat-alat Negara . Keputusan pengadilan bersifat
eksekutorial adalah karena pada bagian kepala keputusannya berbunyi : “ Demi
Keadilan Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa ”.
Putusan yang
dapat dieksekusi adalah yang memenuhi syarat-syarat untuk dieksekusi, yaitu :
1.
Putusan yang
telah berkekuatan hukum tetap, kecuali dalam hal:
a.
Pelaksanaan
putusan serta merta, putusan yang dapat dilaksanakan lebih dulu,
b.
Pelaksanaan
putusan provisional,
c.
Pelaksanaan
Akta Perdamaian,
d.
Pelaksanaan
(eksekusi) Grose akta.
2. Putusan tidak dijalankan oleh pihak terhukum secara
sukarela meskipun ia telah diberi peringatan (aan maning) oleh Ketua Pengadilan
Agama.
3. Putusan hakim yang bersifat kondemnatoir Putusan yang
bersifat deklaratoir atau konstitutif tidak diperlukan eksekusi. Putusan
kondemnatoir tidak mungkin berdiri sendiri, dan merupakan bagian dari putusan
deklaratoir, karena sebelum bersifat menghukum terlebih dahulu ditetapkan suatu
keadaan hukum .
4.
Eksekusi
dilakukan atas perintah dan dibawah pimpinan Ketua Pengadilan Agama.
Terdapat
beberapa macam pelaksanaan putusan, yaitu:
1.
Putusan yang
menghukum salah satu untuk membayar sejumlah uang. Hal ini diatur dalam pasal
196 HIR, pasal 208 R.Bg.
2.
Putusan yang
menghukum salah satu pihak untuk melakukan suatu perbuatan. Hal ini diatur
dalam pasal 225 HIR, pasal 259 R.Bg.
3.
Putusan yang
menghukum salah satu pihak untuk mengosongkan suatu benda tetap. Putusan ini
disebut juga Eksekusi Riil. Hal ini diatur dalam pasal 1033 Rv.
4.
Eskekusi
riil dalam bentuk penjualan lelang. Hal ini diatur dalam pasal 200 ayat (1)
HIR, pasal 218 ayat (2) R.Bg.
Pasal 196
HIR/207 R.Bg mengatur tentang pelaksanaan putusan yang diakibatkan dari
tindakan tergugat/enggan untuk secara suka rela melaksanakan isi putusan untuk
membayar sejumlah uang, sehingga pihak penggugat sebagai pihak yang dimenangkan
mengajukan permohonan secara lisan atau tertulis kepada Ketua Pengadilan Agama
agar putusan dapat dijalankan.
Pasal 225
HIR/259 R.Bg berkaitan dengan pelaksanaan putusan untuk melakukan suatu
perbuatan tertentu yang tidak ditaati, sehingga dapat dimintakan pemenuhan tersebut
dinilai dalam bentuk uang. Maksud pelaksanaan putusan yang diatur dalam
ketentuan ini adalah untuk menguangkan bagian tertentu dari harta kekayaan
pihak tergugat sebagai pihak yang dikalahkan dengan tujuan guna memenuhi isi
putusan sebagai termuat dalam amarnya, yang telah memenangkan pihak penggugat
sebagai pemohon eksekusi.
Yang
dimaksudkan eksekusi riil dalam ketentuan pasal 1033 Rv. adalah dilaksanakan
putusan yang memerintahkan pengosongan atas benda tidak bergerak. Dalam praktek
di pengadilan, tergugat yang dihukum untuk mengosongkan benda tidak bergerak
tersebut setelah terlebih dahulu ditegur, untuk mengosongkan dan menyerahkan
benda tidak bergerak tersebut kepada penggugat selaku pihak yang dimenangkan.
Apabila
tidak bersedia melaksanakan perintah tersebut secara sukarela, maka Ketua
Pengadilan Agama dengan penetapan akan memerintahkan Panitera atau Juru Sita,
kalau perlu dengan bantuan alat negara (Polisi/ABRI) dengan paksa melakukan
pengosongan terhadap tergugat dan keluarga serta segenap penghuni yang ada,
ataupun yang mendapat hak dari padanya, dengan menyerahkannya kepada Penggugat
selaku pemohon eksekusi.
BAB III
PENUTUP
3.1. KESIMPULAN
Sesuai
dengan ketentuan pasal 178 HIR, pasal 189 Rbg, apabila pemeriksaan perkara
selesai, majlis hakim karena jabatannya melakukan musyawarah untuk mengambil
putusan yang akan dijatuhkan. Proses pemeriksaan dianggap selesai, apabila
telah menempuh tahap jawaban dari tergugat sesuai dengan pasal 121 HIR, pasal
113 RV yang dibarengi dengan replik dari penggugat berdasarkan pasal 115 RV,
maupun duplik dari tergugat dan dilanjutkan dengan tahap pembuktian dan
konklusi. Jika semua tahap ini telah dselesaikan maka majelis mengatakan
pemeriksaan ditutup dan proses selanjutnya adalah manjatuhkan pengucapan
putusan.
Ada 2
golongan putusan hakim yaitu putusan akhir dan putusan sela. Salah satu putusan
sela yang dikenal dalam HIR adalah putusan provisionial.
1.
Putusan
Akhir
2.
Putusan Sela
Ø
Kekuatan
Putusan
HIR tidak
mengatur tentang kekuatan putusan hakim. Putusan hakim mempunyai 3 macam
kekuatan : kekuatan mengikat, kekuatan pembuktian, dan kekuatan eksekutorial
(kekuatan untuk dilaksanakan).
1.
Kekuatan
Eksekutorial
2.
Kekuatan
Pembuktian
3.
Kekuatan
Mengikat
Ø
Upaya Hukum
Terhadap Putusan
a.
Perlawanan
(Verzet)
b.
Banding
c.
Kasasi
d.
PK
Ø
Pelaksanaan
Putusan
Pelaksanaan
putusan itu terjadi karena perintah dan dibawah pimpinan ketua pengadilan yang
dulu memeriksa dan memutus perkaranya dalam tingkat yang pertama. Apabila
pelaksanaan itu seluruhnya atau sebagian harus dilakukan diluar wilayah hukum
pengadilan tersebut, maka ketua pengadilan tersebut meminta perantara dan
bantuan ketua pengadilan di wilayah yang bersangkutan.
Katua
pengadilan yang diminta perantaranya di wajibkan dalam waktu dua kali 24 jam,
melaporkan tentang tindakan-tindakan yang diperintahnya dan bagaimana hasilnya
kepada ketua pengadilan yang dalam tingkat pertama memeriksa perkaranya (pasal
195 ayat 5 HIR).
Tentang hal
perselisihan yang timbul itu dan tentang putusan yang diambilnya, ketua
pengadilan yang disebutkan tadi wajib memberikan laporan tertulis kepada ketua
pengadilan yang memeriksa perkaranya dalam tingkat pertama dalam kurun waktu 24
jam (195 ayat 7 HIR).
DAFTAR PUSTAKA
Soeroso, R,
SH, Praktik Hukum Acara Perdata (Tata Cara dan Proses Persidangan),
Jakarta : Sinar Grafika, 1996.
Mertokusumo,
Sudikno, Prof. DR. SH., Hukum Acara Perdata Indonesi, Yogyakarta :
Liberty, 2006.
Subekti, R,
Prof. SH., Hukum Acara Perdata, Bandung : Bina Cipta, 1989.
Sutantio,
Retnowulan dan Iskandar, Oeripkartawinata, SH, Hukum Acara Perdata Dalam
Teori dan Praktek, Bandung : CV. Mandar Maju, 2005.
Sasangka,
Hari dan Ahmad Rifa'I, Perbandingan H.I.R dengan R.B.G, Bandung :
CV.Mandar Maju, 2005.
[2] Retnowulan,
Sutantio, dan Iskandar Oeripkartawinata, Hukum Acara Perdata Dalam Teori dan
Praktek, Bandung : CV. Mandar Maju, 2005, hal. 109.
[3] Hari
Sasangka dan Ahmad Rifa’I, Perbandingan HIR dengan RBG, Bandung : CV.
MandarMaju, 2005, hal. 144.
No comments:
Post a Comment